Sejumlah ekonom melihat Bank Indonesia akan mulai meninggalkan era suku bunga murah dengan menaikkan suku bunga kebijakannya 25 bps pada pertemuan siang ini. Kenaikan bunga acuan ini berarti bunga pinjaman dari perbankan yang akan dirasakan oleh rumah tangga ikut terkerek.
Ekonom Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, dan BNI Sekuritas memperkirakan suku bunga BI bakal naik 25 bps pada pertemuan siang ini. Kenaikan bunga akan terjadi meski inflasi inti masih di bawah titik tengah target inflasi tahun ini sebesar 3%.
Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan, kenaikan suku bunga BI akan ikut mengerek suku bunga simpanan dan pinjaman perbankan. Dalam catatan historis, perbankan cenderung cepat untuk meneruskan kenaikan bunga acuan BI kepada suku bunga pinjaman, sedangkan kenaikan bunga simpanan lebih lambat.
"Kalau enggak ada dampaknya ya enggak benar juga, jadi pasti ada dampaknya, tetapi tidak pengaruhnya tidak sampai ke pertumbuhan ekonomi juga. Kenaikan 25 bps bunga acuan BI tentu ada dampak ke bunga KPR, tapi tidak terlalu signifikan," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (20/7).
Ia mengatakan, ada sisi positif dan negatif dari kenaikan suku bunga BI. Kenaikan suku bunga tentu akan membuat biaya pinjaman makin mahal, tetapi dapat menekan inflasi sehingga harga-harga bisa terjangkau. Dengan inflasi yang terjaga, maka daya beli rumah tangga juga terjaga.
Adapun jika BI tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level terendahnya seperti saat ini, bunga pinjaman memang tetap akan murah tetapi berisiko terhadap inflasi.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menyebut, bunga rendah memang dapat mendorong konsumsi baik rumah tangga maupun pelaku usaha. Konsumsi yang makin kuat tentu berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Dampak negarif jika bunga BI tidak naik adalah ke pergerakan nilai tukar rupiah yang berpotensi kembali melemah," kata dia.
Alasan BI Perlu Naikkan Bunga Acuan
Damhuri menilai, BI perlu menaikkan suku bunga acuannya untuk menjangkar ekspektasi inflasi. Menaikkan bunga berarti BI memberikan sinyal kepada pasar bahwa bank sentral juga serius merespons tekanan inflasi dan pelemahan nilai tukar.
"Meski berkali-kali mengatakan inflasi dipengaruhi harga bergejolak sementara inflasi inti masih aman, saya setuju hal tersebut. Tapi tetap kalau ekspektasi inflasi terus naik dan nilai tukar tertekan lebih jauh, BI perlu menaikkan bunga," kata dia.
Menurut dia, tidak ada jaminan rupiah langsung berbalik menguat signifikan setelah kenaikan bunga. Namun, kenaikan bunga dapat meredam volatilitas rupiah.
Damhuri menilai, pasar saat ini mulai berekspektasi pasar akan menaikkan bunga, sehingga volatilitas terhadap rupiah akan meningkat jika tak ada perubahan suku bunga atau tak sesuai ekspektasi pasar.
Dampak kenaikan bunga, menurut Damhuri, juga tak serta merta akan mendorong inflasi langsung turun. Pengetatan moneter oleh BI akan membuat pasar melihat bahwa bank sentral serius merespon tekanan inflasi ke depan sehingga ekspektasi inflasi tidak akan terlalu tinggi.
Di sisi lain, LPEM FEB Universitas Indonesia melihat BI tak perlu buru-buru menaikkan bunga acuannya. Bank sentral dinilai masih punya ruang untuk menunda pengetatan kebijakan moneter.
FEB UI beralasan, inflasi inti juga masih relatif terjaga dan pertumbuhan ekonomi yang masih kuat. Cadangan devisa Indonesia juga memadai untuk menjaga stabilitas rupiah. Di samping itu, bank sentral juga telah melakukan normalisasi lewat kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk menyerap likuiditas berlebih.
"Oleh karena itu, kami memandang BI harus mempertahankan suku bunga kebijakan di 3,5% bulan ini untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi yang masih terjadi dengan tetap mencermati perkembangan global dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan antisipasi," kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam risetnya.