Mengapa BI Tak Mau Mengekor The Fed yang Agresif Kerek Bunga Acuan?

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti (kedua kiri) dan tiga Deputi Gubernur BI Sugeng (kiri), Erwin Rijanto (kedua kanan) dan Rosmaya Hadi (kanan) menyampaikan keterangan pers tentang hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Oktober 2019 di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Penulis: Abdul Azis Said
22/7/2022, 09.21 WIB

Bank Indonesia (BI) menegaskan, bank sentral tidak selalu harus ikut-ikutan menaikkan bunga acuan jika The Fed agresif mengerek suku bunga. BI pun masih menahan bunga acuan di level 3,5% selama 17 bulan berturut-turut.

The Fed merupakan bank sentral Amerika Serikat (AS). The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan 150 basis poin (bps) atau 1,5% selama semester I.

Bank sentral AS itu diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuannya bulan ini.

Langkah The Fed itu kemudian disusul oleh sejumlah bank sentral di banyak negara. Namun, BI memutuskan untuk kembali menahan suku bunga acuan di level 3,5%.

"Dampak kenaikan suku bunga The Fed maupun suku bunga global itu, terjadi ke Indonesia melalui kenaikan imbal hasil atau yield US Treasury," Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli, Kamis (22/7).

“Jadi mohon, jangan kemudian dipersepsikan, kalau bunga The Fed naik maka bunga BI juga naik,” tambah dia.

Perry pernah menyampaikan hal serupa pada pertemuan bulan lalu. Saat itu, ia menjelaskan bahwa pasar sebetulnya tidak melihat selisih suku bunga BI dan The Fed.

Menurutnya, pasar lebih memperhatikan perbedaan yield Surat Berharga Negara (SBN) dengan US Treasury.

Kenaikan bunga The Fed yang agresif hingga 75 basis poin bulan lalu disebut tak serta merta membuat yield US Treasury melonjak dengan besaran yang sama.

Kenaikan bunga The Fed menyebabkan yield US Treasury meningkat. Dengan demikian, perbedaan yield obligasi pemerintah AS dengan Indonesia menyempit.

Hal itu menyebabkan daya tarik SBN di mata investor melemah. Alhasil, dana asing keluar alias outflow saat suku bunga naik. Kemudian berdampak terhadap pelemahan rupiah.

Perbedaan yield antara SBN dan US Treasury itu yang kemudian menjadi dasar bank sentral menjaga stabilitas nilai tukar.

Sedangkan BI menyiapkan sejumlah instrumen kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar, bukan hanya melalui kenaikan bunga. Upaya yang dimaksud bisa melalui intervensi, baik tunai atau di pasar spot maupun Domestic Non Delivery Forward (DNDF).

DNDF adalah transaksi lindung nilai, yang serupa dengan transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing, dan dilakukan di pasar domestik.

Di samping itu, BI memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang, khususnya untuk tenor di atas satu minggu. BI juga memperkecil likuiditas yang tenornya jangka pendek.

Lebih lanjut, BI juga menjual SBN di pasar sekunder. Tujuannya, mendorong yield obligasi pemerintah meningkat.

"BI akan terus berada di pasar, melakukan stabilisasi nilai tukar, diperkuat melalui penguatan operasi moneter dan juga penjualan SBN di pasar sekunder," kata Perry.

BI memperkuat bauran kebijakan moneter sebagai respons atas tekanan inflasi dan nilai tukar, alih-alih menaikkan suku bunga acuannya. Suku bunga 3,5% pun dipertahankan selama 17 bulan sejak penurunan terakhir kali pada Februari tahun lalu.

Perry menjelaskan, alasan masih menahan suku bunga yakni inflasi inti yang masih terkendali. Inflasi inti, sebagai indikator BI menarik suku bunga, masih terjaga di level 2,63% secara tahunan (year on year/yoy) pada Juni.

Inflasi inti bahkan diperkirakan tidak akan melebihi 4% sampai akhir tahun. Sedangkan inflasi headline diperkirakan 4,6%, atau lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 4,2%.

Inflasi inti yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan ​inflasi. Komponen ini dipengaruhi oleh faktor seperti interaksi permintaan-penawaran, nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang.

Di sisi lain, BI perlu terus mendukung pemulihan ekonomi. Pemulihan ekonomi domestik dibayangi oleh risiko dampak dari stagflasi global, yakni kombinasi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya tekanan inflasi.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi global bahkan direvisi turun dari sebelumnya 3,5% menjadi 2,9%.

"Pertimbangan bahwa inflasi inti yang masih dalam sasaran dan rikso perlambatan itu, tentu mempengaruhi kenapa kami masih mempertahankan suku bunga BI," kata dia.

Reporter: Abdul Azis Said