Southeast Asia Tobacco Control Alliance atau Seatca mengungkapkan pendapatan negara berpotensi naik Rp 108 triliun dari Rp 188,8 triliun menjadi Rp 297,19 triliun dari cukai rokok. Hal itu terjadi jika penhitungan cukai rokok disederhanakan jadi dua tier dan tarif cukai rokok naik 25%.
Anggota Seatca, Anton Javier, mengatakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara kehilangan pendapatan senilai US$ 4,81 miliar dari pajak produk tembakau. Dari seluruh nilai tersebut, Indonesia kehilangan pendapatan dari industri tembakau hingga US$ 3,46 miliar atau Rp 51,51 triliun.
"Estimasi kehilangan pendapatan ada di nilai yang luar biasa. Pendapatan negara yang drastis bisa didapatkan jika penyederhanaan cukai di Indonesia bisa diterapkan," kata Anton dalam webinar "Cukai Rokok di Indonesia: Menghitung Rupiah yang Hilang", Rabu (3/8).
Dalam simulasi pertama penyederhanaan yang dibuat Anton mengungkapkan pendapatan dari cukai rokok bisa naik menjadi Rp 274,89 triliun dari realisasi cukai rokok 2021 senilai Rp 188,8 triliun. Angka tersebut didapatkan setelah menaikkan tarif cukai sebanyak 20% dan menyederhanakan jenis tarif cukai menjadi enam tier dari posisi saat ini delapan tier.
Pada simulasi kedua, tarif cukai rokok tetap naik setidaknya 20%, tapi jenis tarif cukai disederhanakan menjadi 5 lapis. Dalam simulasi ini, seluruh tarif produsen sigaret putih mesin (SPM) dijadikan satu.
Jumlah perokok susut 0,8% poin dan konsumsi rokok turun 5,54% pada tahun pertama kedua simulai tersebut dijalankan. Namun demikian, jumlah perokok dan konsumsi rokok mendekati kondisi sebelum perubahan cukai dilakukan pada tahun kedua.
Anton menemukan penurunan jumlah perokok dan konsumsi rokok konsisten menurun pada tahun-tahun setelahnya di simulasi ketiga. Simulasi yang dimaksud adalah menaikkan tarif cukai setidaknya 25% dan menyederhanakan jenis tarif cukai menjadi dua tier.
Pada simulasi ketiga, jenis tarif cukai hanya dua, yakni rokok yang dibuat dengan mesin dan rokok yang dibuat oleh pekerja. Simplifikasi ini membuat pendapatan cukai rokok menjadi Rp 279,19 triliun dan terus menekan jumlah perokok maupun konsumsi rokok pada tahun kedua.
Harus Hati-hati
Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febri Pangestu mengatakan setidaknya ada dua kelemahan dalam simulasi penyederhanaan cukai oleh Seatca. Pertama, studi tersebut tidak memperhitungkan dampak perpindahan ke produk rokok yang lebih murah dari peningkatan cukai rokok.
Selain itu, Febri menilai studi tersebut tidak memperhatikan kompleksitas industri rokok di dalam negeri. Febri mencatat total pabrik rokok di dalam negeri saat ini mencapai 603 unit, sedangkan pabrik yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 503 unit.
"Artinya, pemerintah perlu berhati-hati dalam isu menyederhanakan tarif, karena tidak semudah itu. Kalau di Filipina, 80%-90% pabrik rokok berafiliasi dengan satu perusahaan, sedangkan di Indonesia pemainnya sangat banyak. Mereknya saja ada 4.000 merek," kata Febri.
Selain dari jumlah pemain, Febri mengatakan, 13% dari total penerimaan pajak Indonesia berasal dari cukai rokok. Alhasil, industri rokok memiliki sisi politis dan ekonomi yang sangat kompleks.
Oleh karena itu, Febri mengatakan perubahan aturan cukai rokok di dalam negeri harus berangkat dari pimpinan level tinggi. Dalam hal ini, Febri menilai perubahan aturan cukai yang ekstrem harus dituangkan dalam Peraturan Presiden.
"Pengendalian konsumsi tembakau harus dibarengi dengan paket kebijakan yang dikemas dalam peraturan dengan tingkat yang lebih tinggi. Jadi, peraturan tersebut dapat menjadi acuan seluruh kementerian," kata Febri.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Kementerian Keuangan, Iyan Rubiyanto, mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang menggodok Peraturan Pemerintah (PP) terkait peta jalan pengendalian konsumsi tembakau. Adapun, PP tersebut diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Di sisi lain, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau Kemenko PMK menyatakan akan memperketat tata niaga industri hasil tembakau dalam waktu dekat. Oleh karena itu, pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 109-2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Secara umum, ada lima poin yang akan menjadi fokus revisi PP tersebut, yakni penambahan luas penampang gambar dampak merokok di bungkus rokok menjadi 90%, pelarangan iklan rokok di media sosial, pelarangan penjualan rokok secara batangan, penguatan pengawasan penjualan rokok, dan pengaturan penjualan rokok elektrik.
Pada 2021,pPemerintah mengalokasikan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) atau cukai rokok sebesar Rp 3,47 triliun pada 2021, naik tipis 0,28% dibandingkan tahun lalu. Alokasi dana tersebut akan disebar ke 26 provinsi dan 407 kabupaten/kota.
Berdasarkan persebarannya, Jawa timur menjadi daerah dengan alokasi DBH CHT terbesar pada tahun ini, yakni Rp 1,94 triliun. Posisi Jawa Timur diikuti Jawa Tengah dan Jawa Barat yang masing-masing mendapat alokasi DBH CHT sebesar Rp 743,5 miliar dan Rp 401,7 miliar.