Bank Indonesia menilai ekonomi Indonesia masih belum pulih, meski mencatat pertumbuhan ekonomi 5,4% pada kuartal kedua tahun ini. Pertumbuhan ekonomi menggeliat setelah ramadan saat kasus Covid-19 melandai.
"Ekonomi sedang sehat dan senang-senangnya makan tapi belum pulih benar," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan, Rabu (10/8).
Perry menyatakan hal yang sama dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) awal pekan lalu. Pada pertemuan tersebut, ia mengatakan pertumbuhan ekonomi sedang meningkat tapi belum pulih. BI mencatat konsumsi swasta baru naik pada saat ramadan. Bank sentral memperkirakan konsumsi masih akan terus naik, sehingga momentum pemulihan masih perlu terus dijaga.
Meski belum benar-benar pulih, Perry menyebut Indonesia patut bersyukur. Alasannya, pertumbuhan 5,44% pada kuartal II ini lebih tinggi dibandingkan kinerja ekonomi negara lain yang melambat. Misalnya Cina hanya tumbuh 0,4% pada kuartal II, padahal biasanya tumbuh di atas Indonesia. Amerika Serikat (AS) bahkan resmi masuk resesi teknikal setelah ekonomi terkontraksi 0,9%.
Pertumbuhan yang kuat pada periode April-Juni 2022 ini terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang berhasil tumbuh 5,51%. Komponen ini menyumbang lebih dari separuh pada perekonomian Indonesia.
Harga komoditas yang tinggi juga menjadi alasan ekspor Indonesia masih tumbuh kuat sepanjang kuartal II sebesar 19,74% YOY. Ekspor menyumbang hampir seperempat dari perekonomian RI. Komponen lainnya yang menyumbang besar bagi ekonomi dan masih tumbuh positif yakni investasi sebesar 3,07% YOY, sekalipun tidak setinggi kuartal sebelumnya 4,1%.
Meski disebut belum pulih, tetapi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas harga konstan pada kuartal II sebetulnya sudah lebih tinggi dibandingkan periode yang sama 2019 atau sebelum pandemi. Catatan BPS, nilai PDB harga konstan kuartal II sebesar Rp 2.923,7 triliun, lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Rp 2.735,2 triliun.
Namun, di tengah pemulihan yang kuat ini, BI juga melihat ada tantangan dari sisi kenaikan inflasi. Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli tercatat inflasi 4,94% secara YOY, tertinggi sejak oktober 2015. Ini terutama didorong oleh kenaikan signifikan pada harga pangan bergejolak yang mencatatkan inflasi hingga 11%.
Inflasi headline yang nyaris menyentuh 5% pada bulan lalu dinilai masih lebih rendah dibandingkan negara lain yang melejit lebih tinggi. Namun, Perry menyebut inflasi harga pangan yang melonjak tinggi menjadi pekerjaan rumah besar. Pasalnya, inflasi harga pangan seharusnya tidak boleh lebih dari 6%, bahkan harusnya bisa ditekan turun hingga 5%.
"Ingat, inflasi pangan itu adalah masalah perut masalah rakyat dan itu langsung ke sejahtera ini bukan masalah ekonomi saja tapi masalah ekonomi sosial bagaimana nanti Oktober dan seterusnya jangan sampai ada masalah politik," kata Perry.