Pilihan Sulit Pemerintah, Tambah Subsidi Atau Naikkan Harga BBM?

ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/wsj.
Petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) melayani pelanggan di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (29/6/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
15/8/2022, 15.21 WIB

Pemerintah memberi sinyal akan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah harga minyak yang mendekati US$ 100 per barel. Kuota BBM bersubsidi Pertalite pun makin tipis setelah permintaannya yang meningkat pasca-kenaikan harga Pertamax pada April lalu.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah dihadapkan pada pemilihan antara menaikkan harga BBM dan mempertebal anggaran subsidi BBM pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bila menambah subsidi perkiraan anggaran dan kompensasi energi mencapai Rp 600 triliun. 

Pemerintah sudah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi pada APBN tahun ini sebesar Rp 502,4 triliun. Kenaikan subsidi ini karena harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dalam APBN 2022 hanya sebesar US$ 63 per barel dan kurs Rp 14.450 per dolar AS. Adapun volume Pertalite yang dijatahkan 23,1 juta kilo liter hingga akhir tahun, kini hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.

Anggota BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan kuota Pertalite sudah semakin menipis. Hingga Juli, Pertamina telah menyalurkan 16,8 juta kilo liter (kl) Pertalite dari total kuota akhir tahun sebesar 23 juta kl.

Saat ini kuota Pertalite hanya tersisa 27% atau 6,2 juta kl. Padahal rata-rata komsumsi Pertalite per bulan mencapai 2,4 juta kl. Sedangkan kuota solar bersubdisi tersisa 33,6% atau 5 juta kl sampai akhir tahun dengan rata-rata penyerapan BBM Solar di angka 1,41 juta kl.

Saleh mengatakan pemerintah dan DPR sudah mengajukan kenaikan kuota Pertalite menjadi sekitar 29 juta kl. "Sudah diajukan ke pemerintah, menunggu putusan dari Kemenkeu," kata Saleh kepada Katadata.co.id, Senin (15/8).

Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sudah meminta masyarakat bersiap dengan kenaikan harga pertalite Cs. Alasannya, jika harga BBM tidak naik maka kondisi fiskal pemerintah makin terbebani lebih dari Rp 502,4 triliun.

"Tolong teman-teman wartawan sampaikan kepada rakyat, bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang, feeling saya sih harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," katanya dikutip dari Antara, Jumat (12/8).

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya juga meminta Pertamina untuk mengendalikan volume penyaluran BBM bersubsidi. Kuota subsidi menipis, sehingga anggaran negara bisa makin terbebani jika volumenya melampaui target. Bendahara negara itu juga menyebut bisa saja anggaran Rp 502 triliun tahun ini tidak cukup.

Masih Ada Ruang Fiskal Tambah Subsidi BBM

Ekonom INDEF Abra Talattov menyebut pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan menaikan harga BBM khususnya yang bersubsidi. Alih-alih menaikkan harga, Abra menilai pemerintah masih bisa menahan kenaikan tersebut dengan menaikan anggaran.

"Kapasitas dan ruang fiskal kita kalau memang terpaksa menambah kuota itu masih ada, kita lihat kinerja APBN masih surplus sementara belanja juga masih belum signifikan," kata Abra dihubungi, hari ini. 

Meski demikian, ia menyebut kalaupun akan ditambah, pemerintah harus fokus untuk tambahan subsidi Pertalite saja. Dengan asumsi Pertalite bisa bengkak hingga 29 juta kilo liter dari kuota tahun ini 23 juta kilo liter, butuh tambahan anggaran sekitar Rp 100 triliun. Ia menyebut kemungkinan pagunya bergerak menjadi sekitar Rp 600 triliun.

Kenaikan untuk jenis BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan lainnya menurut dia memungkinkan dilakukan. Namun, langkah ini bisa diambil jika pemerintah sudah menyediakan regulasi yang mengatur pembatasan penyaluran BBM bersubsidi. Pasalnya, jika kenaikan dilakukan sebelum aturannya terbit, berisiko menyebabkan semakin banyak masyarakat yang beralih ke BBM bersubsidi.

Ia menyebut, alasan pemerintah perlu menghindari kenaikan harga BBM khususnya bersubsidi yakni untuk menopang pemulihan ekonomi. Kenaikan harga menurutnya bakal mengorbankan seluruh upaya dan besarnya anggaran yang sudah dikeluarkan pemerintah beberapa tahun terakhir untuk mendorong pemulihan ekonomi.

"Kenaikan harga khususnya Pertalite berisiko sekali mengganggu proses pemulihan dna ini tidak konsisten dengan tujuan pemerintah di awal untuk menambah defisit yakni untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi," kata Abra.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut kenaikan harga memberi konsekuensi kenaikan inflasi yang kini sudah merangkak tinggi. Karenanya, pemerintah dinilai masih bisa menahan kenaikan harga tersebut dengan menambah anggaran.

Seperti Abra, Yusuf juga melihat pemerintah masih punya ruang untuk menambah anggaran. Perkiraan pemerintah defisit anggaran sampai akhir tahun di 3,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB), masih jauh dibawah target tahun ini 4,5% sebagaimana dalam Perpres 98 revisi UU APBN 2022.

Menurutnya, masih ada ruang bagi pemerintah untuk memperlebar defisit bahkan mendekati target. Kalaupun defisit dikerek naik mendekati 4,5%, itu masih akan lebih rendah dari realisasi tahun lalu yang mencapai 4,57% PDB.

"Sikap legowo pemerintah itu untuk membawa defisit lebih besar masih sejalan dengan timeline konsolidasi fiskal pemerintah yang memperbolehkan defisit di atas 3% sampai tahun ini," kata Yusuf.

Reporter: Abdul Azis Said, Muhamad Fajar Riyandanu