Kemenkeu: Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Jadi Opsi Terakhir

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.
Sejumlah pengendara motor antre mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/8/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
15/8/2022, 16.41 WIB

Pemerintah memiliki pilihan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi di tengah ancaman kuota BBM bersubsidi khususnya Pertalite yang menipis. Kementerian Keuangan mengatakan masih terus memonitor perkembangan konsumsi BBM terkini.

Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya mengatakan pemerintah masih mengkaji dua pilihan tersebut. Dia menyebut, kenaikan harga BBM bersubsidi sebagai opsi terakhir. "Kebijakan penyesuaian harga merupakan pilihan yang terakhir," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (15/8).

Made pernah menjelaskan Kemenkeu akan menentukan kebutuhan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi setelah Presiden menyetujui tambahan kuota BBM bersubsidi. Setelah itu, baru presiden memberi persetujuan untuk penambahan anggaran. Namun, mekanisme penambahan anggaran ini nanti juga membutuhkan persetujuan dari DPR.

Anggota BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan saat ini kuota Pertalite hanya tersisa 27% atau 6,2 juta kl. Padahal rata-rata konsumsi Pertalite per bulan mencapai 2,4 juta kl. Sedangkan kuota solar bersubsidi tersisa 33,6% atau 5 juta kl sampai akhir tahun dengan rata-rata penyerapan BBM Solar di angka 1,41 juta kl.

Saleh mengatakan pemerintah dan DPR sudah mengajukan kenaikan kuota Pertalite menjadi sekitar 29 juta kl. "Sudah diajukan ke pemerintah, menunggu putusan dari Kemenkeu," kata Saleh kepada Katadata.co.id.

Dengan meningkatnya kebutuhan tambahan kuota BBM bersubsidi, pemerintah kini dihadapkan pada dua pilihan sulit, menambah anggaran atau membiarkan harga naik. Menteri Keuangan Sri Mulyani pekan lalu sempat berkomentar soal kemungkinan anggaran bengkak dari pagu saat ini Rp 502,4 triliun. Sementara dalam kesempatan terpisah, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia meminta masyarakat bersiap dengan kenaikan harga.

Sejumlah ekonom menyarankan agar pemerintah memilih menambah subsidi BBM alih-alih membiarkan harga naik. Alasannya, pemerintah dinilai masih punya ruang untuk menambah anggaran.

Masih Ada Ruang Fiskal Tambah Subsidi BBM

Ekonom INDEF Abra Talattov menyebut pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan menaikan harga BBM khususnya yang bersubsidi. Alih-alih menaikkan harga, Abra menilai pemerintah masih bisa menahan kenaikan tersebut dengan menaikan anggaran.

"Kapasitas dan ruang fiskal kita kalau memang terpaksa menambah kuota itu masih ada, kita lihat kinerja APBN masih surplus sementara belanja juga masih belum signifikan," kata Abra dihubungi, hari ini. 

Meski demikian, ia menyebut kalaupun akan ditambah, pemerintah harus fokus untuk tambahan subsidi Pertalite saja. Dengan asumsi Pertalite bisa bengkak hingga 29 juta kilo liter dari kuota tahun ini 23 juta kilo liter, butuh tambahan anggaran sekitar Rp 100 triliun. Ia menyebut kemungkinan pagunya bergerak menjadi sekitar Rp 600 triliun.

Kenaikan untuk jenis BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan lainnya menurut dia memungkinkan dilakukan. Namun, langkah ini bisa diambil jika pemerintah sudah menyediakan regulasi yang mengatur pembatasan penyaluran BBM bersubsidi. Pasalnya, jika kenaikan dilakukan sebelum aturannya terbit, berisiko menyebabkan semakin banyak masyarakat yang beralih ke BBM bersubsidi.

Ia menyebut, alasan pemerintah perlu menghindari kenaikan harga BBM khususnya bersubsidi yakni untuk menopang pemulihan ekonomi. Kenaikan harga menurutnya bakal mengorbankan seluruh upaya dan besarnya anggaran yang sudah dikeluarkan pemerintah beberapa tahun terakhir untuk mendorong pemulihan ekonomi.

"Kenaikan harga khususnya Pertalite berisiko sekali mengganggu proses pemulihan dna ini tidak konsisten dengan tujuan pemerintah di awal untuk menambah defisit yakni untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi," kata Abra.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut kenaikan harga memberi konsekuensi kenaikan inflasi yang kini sudah merangkak tinggi. Karenanya, pemerintah dinilai masih bisa menahan kenaikan harga tersebut dengan menambah anggaran.

Seperti Abra, Yusuf juga melihat pemerintah masih punya ruang untuk menambah anggaran. Perkiraan pemerintah defisit anggaran sampai akhir tahun di 3,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB), masih jauh dibawah target tahun ini 4,5% sebagaimana dalam Perpres 98 revisi UU APBN 2022.

Menurutnya, masih ada ruang bagi pemerintah untuk memperlebar defisit bahkan mendekati target. Kalaupun defisit dikerek naik mendekati 4,5%, itu masih akan lebih rendah dari realisasi tahun lalu yang mencapai 4,57% PDB.

"Sikap legowo pemerintah itu untuk membawa defisit lebih besar masih sejalan dengan timeline konsolidasi fiskal pemerintah yang memperbolehkan defisit di atas 3% sampai tahun ini," kata Yusuf.

Reporter: Abdul Azis Said