Tekanan inflasi di dalam negeri terus meningkat beberapa bulan terakhir dan mencapai level 4,94% secara tahunan pada bulan lalu. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) memngingatkan tekanan harga masih akan berlanjut dan melonjak signifikan bulan depan.
"Pada September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiperinflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10% - 12%," ujar Bamsoet dalam pembukaan sidang tahunan MPR RI, Selasa (16/8).
Bamsoet memperkirakan inflasi bulan depan yang mencapai dua digit tersebut bakal melonjak dua kali lipat dari perkiraan inflasi bulan ini sebesar 5%-6%. Perkiraan inflasi bulan ini melanjutkan kenaikan inflasi sebesar 4,94% pada bulan lalu yang merupakan rekor tertingginya hampir dalam tujuh tahun terakhir.
Laju kenaikan inflasi terutama terlihat dari lonjakan harga pangan dan energi. Komponen harga bergejolak mencapai 11,47% pada bulan Juli, rekor tertingginya sejak awal 2014. Komponen ini mayoritas terdiri atas kenaikan harga pangan.
"Laju kenaikan inflasi, disertai dengan lonjakan harga pangan dan energi, semakin membebani masyarakat, yang baru saja bangkit dari pandemi Covid-19," kata Bamsoet.
Bank Indonesia sebelumnya juga sudah mewanti-wanti bahwa inflasi akan melebih target tahun ini 2%-4%. Meski demikian, outlook bank sentral untuk inflasi tahun ini tidak akan 'setinggi' yang disebutkan Bamsoet sebelumnya. BI juga tidak pernah menyebut kondisi kenaikan harga di dalam negeri akan sangat parah dan bisa memasuki era inflasi super tinggi.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut inflasi tahun ini bisa mencapai 4,5%-4,6%. "Tekanan inflasi ke depan tentu saja lebih bersumber dari sisi penawaran yaitu harga pangan dan energi yang tidak disubsidi," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli, Kamis (21/7).
BI memperkirakan, kenaikan harga pangan yang termasuk kelompok inflasi harga yang bergejolak dan energi yang merupakan harga yang diatur pemerintah mendorong inflasi secara keseluruhan melampaui target. Sementara komponen inflasi inti yang tidak menghitung lonjakan harga pangan dan energi, masih akan tetap dalam sasaran target maksimal 4% pada tahun ini.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono, menyatakan lonjakan tersebut sebagian besar karena rantai pasokan terganggu oleh kondisi cuaca yang buruk. Kontributor utama terhadap lonjakan harga pangan di antaranya produk hortikultura seperti cabai rawit, cabai merah dan bawang merah.
“Penghasil produk hortikultura seperti cabai rawit, cabai merah dan bawang merah ini di beberapa sentra produksi seperti di Cianjur, Brebes, dan Banjarnegara, curah hujannya dikategorikan tinggi. Tentu saja ini berpengaruh kepada produksi,” kata Margo dalam konferensi pers, Senin (1/8).