Sri Mulyani: Subsidi Solar Rp 8.800 dan Pertalite Rp 6.800 per Liter

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) menyebut harga BBM bersubsidi dan LPG 3 kg yang ada saat ini sudah jauh dari harga keekonomiannya.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
25/8/2022, 20.17 WIB

Anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini terancam tidak akan cukup hingga akhir tahun sehingga memunculkan wacana kenaikan harga BBM bersubsidi. Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan, harga BBM bersubsidi dan LPG 3 kg yang ada saat ini sudah jauh dari harga keekonomiannya.

Dalam paparannya di depan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, bendahara negara ini menyebut sudah menggelontorkan subsidi sebesar Rp 8.800 untuk setiap satu liter solar yang dinikmati masyarakat.

"Harga solar tetap Rp 5.150 per liter, padahal kalau harganya sesuai dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 100 per barel, dengan nilai tukar Rp 14.450, harga keekonomian solar itu harusnya Rp 13.950 per liter," kata Sri Mulyani, Kamis (25/8).

Pemerintah menyediakan kuota solar bersubsidi sebanyak 15 juta kilo liter. Namun hingga akhir Juli, kuotanya sudah tersedot 9,88 juta kilo liter. Ia memperkirakan jika laju konsumsinya masih sama seperti tujuh bulan terakhir, kuotanya akan habis dua bulan lagi.

Ia juga mengatakan pemerintah juga telah memberikan subsidi untuk Pertalite sebesar Rp 6.800 per liter. Harga pertalite di pom bensin Rp 7.650 per liter dari harga keekonomian yang seharusnya di Rp 14.450 per liter.  Kuota Pertalite tersisa kurang lebih 6 juta kilo liter dan diperkirakan habis pada akhir bulan depan.

Pemerintah juga menyediakan subsidi untuk LPG tabung 3 kg. Ia menyebut harga keekonomian LPG tabung melon saat ini mencapai Rp 18.500 per Kg. Padahal harga yang dijual saat ini hanya RP 4.250 per kg.

"Jadi subsidinya lebih besar dari Rp 14.000 per kg," kata Sri Mulyani.

Adapun untuk mencukupi subsidi tersebut, Sri Mulyani menggelontorkan anggaran mencapai Rp 502,4 triliun pada tahun ini. Pagu tersebut sudah membengkak dari alokasi awal hanya Rp 152,5 triliun. Ini artinya, anggaran telah dikerek naik hingga tiga kali lipat.

Namun, anggaran tersebut berisiko masih belum cukup. Bukan hanya karena volume konsumsinya yang bisa membengkak tetapi juga karena harga minyak dunia juga masih tinggi serta asumsi kurs rupiah yang terdepresiasi jauh dari asumsi dalam APBN.

"Januari sampai Juli ini, harga rata-rata dari minyak mentah kita di US$ 105 per barel, jadi bedanya US$ 5 dari yang kita mintakan sata iut untuk asumsi US$ 100," kata Sri Mulyani.

Dalam hitung-hitungan Kementerian keuangan, butuh tambahan anggaran Rp 198 triliun jika ingin menambah kuota BBM subsidi. Pemerintah bisa saja tidak menaikan harga BBM subsidi seperti Pertalite jika kemudian memutuskan menambah anggaran.

Reporter: Abdul Azis Said