Resesi Ekonomi Melanda Banyak Negara, Ini Gambaran Dampak ke Warganya

ANTARA FOTO/REUTERS/Rodrigo Garrido/foc/cf
Ilustrasi. Masa sulit akibat resesi ekonomi dihadapi tak hanya oleh negara miskin atau berkembang, tetapi banyak negara maju.
Penulis: Agustiyanti
29/9/2022, 10.52 WIB

Resesi ekonomi sudah mulai melanda sejumlah negara dan diperkirakan semakin menjalar ke banyak negara lainnya pada tahun depan. Beberapa lembaga bahkan memperingatkan resesi ekonomi global akan terjadi pada tahun depan. 

Masa sulit ini dihadapi tak hanya oleh negara miskin atau berkembang, tetapi banyak negara maju. Ekonomi Amerika Serikat sudah dua kuartal mengalami kontraksi, demikian pula dengan Jerman. Beberapa negara mendefinisikan resesi ekonomi sebagai kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Namun, AS memiliki definisi yang berbeda. 

Biro Riset Ekonomi Nasional mendefinisikan resesi sebagai tanda-tanda pelemahan ekonomi yang meluas berupa PHK besar-besaran hingga perlambatan aktivitas sektor swasta. Pemerintah AS hanya menyebut kontraksi ekonomi di kuartal kedua lalu sebagai sebuah tanda-tanda perlambatan alih-alih resesi. 

Meski demikian, banyak warga AS yang sudah mulai mengalami kesulitan. Biaya hidup di negara adidaya ini melonjak akibat inflasi yang masih bertahan di kisaran 8% meski The Federal Reserve sudah menaikkan bunga acuannya hingga 300 bps atau 3%. Beban biaya hidup juga bertambah bagi rumah tangga yang memiliki pinjaman karena kenaikan bunga The Fed. 

Kesulitan akibat biaya hidup yang tinggi dirasakan warga AS, terutama menjelang tahun ajaran baru sekolah. Mengutip CNN Business, riset terkait belanja kebutuhan sekolah yang digelar Morning Consult menunjukkan, hanya 36% orang tua di Amerika Serikat yakin dapat membayarkan semua kebutuhan sekolah anak-anak mereka pada tahun ajaran baru ini, turun dari riset tahun lalu yan mencapai 52%.

Kemampuan berbelanja yang menurun salah satunya dirasakan Sarah Longmore. Keluarga Longmore berpenghasilan US$ 100 ribu per tahun atau setara Rp 1,48 miliar, jauh di atas rata-rata rumah tangga AS yang mencapai US$ 65 ribu per tahun. Namun dengan anggota keluarga yang terdiri dari lima anak, pengeluaran keluarganya jauh di atas rata-rata.  

Dengan inflasi yang mencapai 8,5% pada Juli akibat harga makanan dan energi semakin mahal, pendapatannya tak cukup untuk menjaga rumah tangganya hidup dengan nyaman. Ia terpaksa menekan kebutuhan biaya sekolah di tahun ajaran baru karena empat dari lima anaknya masih dalam usia sekolah. 

Di Inggris, yang perekonomiannya sudah di tepi resesi, juga mengalami lonjakan biaya hidup karena inflasi mencapai 10%. Inflasi diperparah dengan poundsterling yang telah melemah lebih dari 20% terhadap dolar AS, membuat biaya makanan dan energi lebih mahal lagi. 

The Guardian melaporkan, sebagian masyarakat di Inggris bahkan mulai kesulitan membeli makanan. Media itu mengutip survei sebuah badan amal makan sehat, Chefs in Schools, yang menunjukkan banyak anak sekolah di Inggris yang kelaparan karena orang tuanya tak mampu membeli makanan. Sebuah sekolah di Lewisham, London Tenggara, memberitahu badan amal itu bahwa ada anak yang sampai berpura-pura makan dari kotak makan yang kosong. 

The Guardian juga mendapatkan informasi dari Oxford Mutual Aid, sebuah kelompok masyarakat yang mengirimkan paket makanan darurat. Lembaga amal itu kesulitan memenuhi permintaan bantuan makanan yang meningkat drastis.

Krisis pangan yang dihadapi Inggris memang bukan soal ketersediaan bahan pangan, tetapi harganya yang mulai tak terjangkau oleh kelompok menengah ke bawah. 

Namun kondisi resesi ekonomi di negara maju tentu tak seburuk saat kondisi serupa terjadi di negara miskin. Di Sri Lanka, resesi ekonomi yang diperparah dengan inflasi yang sangat tinggi membuat banyak warganya kelaparan. Sulitnya situasi ekonomi negara tersebut bahkan memicu krisis politik dan sosial.

Para nelayan tidak dapat melaut karena tidak memiliki bahan bakar sehingga berujung kelaparan. Para ibu juga kesulitan mendapatkan susu untuk anaknya karena inflasi membuat harga melambung tinggi. 

“Semuanya sulit saat ini – tidak ada minyak tanah, tidak ada makanan di rumah,” kata Soosaipillai Nicholas, 73 tahun, nelayan di Pantai Mannar, salah satu pulai kecil di Sri Lanka. 

Di sebagian negara Amerika Selatan, lonjakan harga bahan bakar juga menimbulkan aksi protes di Argentina, Ekuador dan Panama. Negara-negara ini tidak memiliki sarana transportasi alternatif, seperti kereta api dan transportasi air yang lebih umum di Eropa dan Amerika Utara dan membutuhkan lebih sedikit bahan bakar.  

"Harga bahan bakar adalah jangkar bagi seluruh perekonomian. Jika bahan bakar meningkat, itu berdampak langsung pada semua jenis harga," kata Sergio Guzman, direktur Analisis Risiko Kolombia, sebuah konsultan bisnis di Bogota.

Meski ekonomi Argentina tumbuh 6,5% secara tahunan pada kuartal kedua tahun ini, resesi yang sempat terjadi pada tahun-tahun sebelumnya membuat negara ini mengalami krisis ekonomi. Pemerintah kesulitan membayarkan utang dan telah meminta dana talangan kepada IMF.

Lonjakan harga di Argentina telah membuat menteri keuangan negara itu terpaksa mundur. Seorang pekerja pengiriman makanan Buenos Aires mengatakan kepada CNN bahwa tahun itu lebih kejam daripada tahun-tahun awal pandemi.  "Semua orang mengeluh," Federico Mansilia, ayah dari dua anak.

Di belahan bumi lain, bencana kelaparan sudah terjadi jauh hari. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, hampir satu juta orang di Afghanistan, Ethiopia, Sudan Selatan, dan Yaman mengalami kelaparan. Bencana kelaparan semakin parah karena konflik lokal dan cuaca ekstrem diperparah oleh ketidakstabilan ekonomi.