Tekanan inflasi tinggi disertai perlambatan ekonomi meningkatkan risiko terjadinya stagflasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menyinggung risiko stagflasi setelah beberapa negara maju diprediksi memasuki resesi tahun depan.
"Negara maju seperti AS dan Eropa yang juga merupakan penggerak perekonomian dunia berpotensi mengalami resesi pada 2023," kata Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis (29/9).
Tekanan inflasi telah meningkat di banyak negara, bahkan meningkat signifikan di AS dan kawasan Eropa. Kenaikan inflasi juga mulai terlihat di beberapa negara berkembang. Bahkan inflasi di Turki mencapai 80,2% dan di Argentina mencapai 78,5%.
Lonjakan harga-harga kemudian menyebabkan bank sentral perlu menyesuaikan kebijakan moneternya dengan kenaikan suku bunga. Bank sentral AS, The Fed, telah mengerek bunga 300 bps sepanjang tahun ini. Sementara suku bunga bank sentral Eropa (ECB) dikerek ke zona positif setelah bertahun-tahun bertahan di zona negatif.
Sri Mulyani menyebut, kenaikan bunga agresif menyebabkan gejolak di sektor keuangan dan arus modal keluar dari negara-negara emerging hingga mencapai U$ 9.9 miliar atau setara Rp 148,1 triliun secara tahun kalender (ytd) sampai dengan 22 September 2022. Hal ini menyebabkan tekanan pada nilai tukar di berbagai negara emerging.
Potensi Stagflasi
Kenaikan bunga juga akan meningkatkan biaya utang dan mengetatkan likuiditas. Karena itu, Sri Mulyani memperingatkan perlu mewaspadai terhadap berbagai kondisi tersebut.
"Kenaikan suku bunga untuk menekan inflasi berpotensi akan mempengaruhi kinerja ekonomi global pada tahun 2023, yaitu potensi mengalami koreksi ke bawah. Inflasi yang meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang melambat akan mengakibatkan stagflasi," ujarnya.
Stagflasi merupakan kombinasi dari inflasi yang menanjak namun terjadi pelemahan ekonomi signifikan. Berbagai lembaga ekonomi global telah memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan melambat tahun ini dan akan lebih signifikan lagi pada tahun depan. Di sisi lain, prospek inflasi juga telah dinaikkan.
Dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 menjadi 2,9% dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,1%.
Namun, Sri Mulyani mengaku, gambaran ekonomi global yang disampaikannya itu tidak bertujuan untuk menimbulkan kekhawatiran kepada publik. "Namun untuk memberikan sense bahwa gejolak perekonomian tahun ini maupun tahun depan yang akan kita hadapi bersama harus dapat diantisipasi dan dikelola dengan prudent dan hati-hati," ujarnya.
Stagflasi akan terjadi di Indonesia?
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan berbagai indikator saat ini menunjukan perekonomian Indonesia lebih baik dibandingkan banyak negara lain.
Indonesia menjadi negara yang pemulihannya paling signifikan dibandingkan negara lain. Level PDB riil Indonesia sampai kuartal kedua tahun ini sudah sekitar 7,1% di atas level sebelum pandemi. Ini membuat Indonesia hanya sedikit di bawah Vietnam dan Cina dalam daftar negara G20 dan ASEAN-6.
Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah saat ini relatif lebih ringan dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya di kawasan. Kinerja tersebut ditopang kondisi fundamental ekonomi domestik yang dinilai cukup baik oleh pasar dengan berbagai indikator utama menunjukan masih berlanjutnya perbaikan ekonomi.
"Kita memang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara tadi yang masuk G20 dan ASEAN-6," kata Febrio ditemui di Komplek Parlemen.