IMF: Biaya Ekonomi Lebih Mahal Jika Negara Mundur dari Transisi Energi

Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu
Ilustrasi. Instalasi sumur panas bumi di PLTP Small Scale Unit Dieng yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
7/10/2022, 16.06 WIB

Dana Moneter Internasional atau IMF menyebut 'biaya' ekonomi dari proses transisi menuju energi bersih akan lebih mahal jika tidak dilakukan bertahap dari sekarang. Dampak jangka pendek dari transisi energi akan berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan inflasi.

IMF dalam laporan terbarunya membuat simulasi terkait dampak jangka pendek dari berbagai kebijakan mitigasi iklim terhadap output ekonomi dan harga-harga. Ini dengan asumsi emisi karbon diturunkan 25% pada 2030 dan transisi dilakukan bertahap mulai tahun ini. Penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap wilayah akan memperkenalkan kebijakan penurunan emisi, termasuk di dalamnya instrumen pajak karbon.

Hasilnya, paket kebijakan seperti itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia antara 0,15%-0,25 poin persentase per tahun mulai tahun ini hingga 2030. Namun, risiko ini tergantung pada seberapa cepat daerah dapat menghentikan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik.

"Semakin sulit transisi ke listrik bersih, semakin besar kenaikan pajak gas rumah kaca atau peraturan sejenis yang diperlukan untuk mendorong penurunan emisi, maka semakin besar biaya ekonomi dalam hal output yang hilang dan inflasi yang lebih tinggi," kata IMF dikutip Jumat (7/10).

Untuk Eropa, Amerika Serikat dan Cina, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi relatif lebih kecil dibandingkan wilayah lainnya. Alasannya, 'biaya' berupa perlambatan ekonomi akan lebih berat dirasakan oleh negara-negara eksportir bahan bakar fosil dan ekonomi yang banyak mengandalkan energi.

Transisi energi ini juga akan membuat harga-harga barang menjadi lebih mahal dalam jangka pendek. Perhitungan IMF, inflasi naik secara moderat antara 0,1-0,4 point presentasi. Namun, kenaikan harga ini juga akan terlihat lebih signifikan di negara-negara di luar Cina, Amerika Serikat dan Eropa.

Meski demikian, IMF tidak melihat upaya transisi energi ini akan mendorong inflasi kemudian melonjak signifikan dan menimbulkan spiral harga upah. Kebijakan yang dilakukan bertahap akan memberikan kesempatan bagi dunia usaha dan rumah tangga menyesuaikan dengan model ekonomi baru ini.

Untuk meminimalisir biaya jumbo tersebut, IMF mendorong kebijakan perubahan iklim seperti pajak harus bertahap dan kredibel. Jika kebijakan hanya 'setengah-setengah', sektor usaha dan rumah tangga tidak akan begitu mempertimbangkan kebijakan pajak itu dalam memutuskan rencana investasinya di masa depan.

Semakin sedikit minat investasi ke proyek rendah karbon, akan memperlambat proses transisi sehingga biaya yang dibutuhkan kemungkinan akan lebih besar lagi.

IMF juga membuat skenario apabila proses transisi energi tidak dimulai segera tetapi target penurunan tetap sama yakni 25% pada 2023. Apabila kebijakan transisi ditunda hingga inflasi kembali normal. Asumsi pada 2027, maka biayanya terhadap ekonomi bisa lebih besar dibandingkan jika transisi bertahap mulai tahun ini.

Dampaknya, pertumbuhan ekonomi bisa turun 1,5 poin persentase serta kenaikan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan skenario transisi dilakukan segera.

"Jika langkah-langkah yang tepat diterapkan segera dan bertahap selama delapan tahun ke depan, biayanya akan kecil. Namun, jika transisi ke energi terbarukan tertunda, biayanya akan jauh lebih besar," kata IMF.

Reporter: Abdul Azis Said