IMF: Risiko Spiral Inflasi Efek Kenaikan Upah Tak Akan Signifikan

ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Segar/AWW/dj
Tangan patung mantan Presiden AS George Washington berada di bagian depan gedung Bursa Saham New York (NYSE) pada permulaan sesi perdagangan hari Kamis di Manhattan, Kota New York, New York, Amerika Serikat, Kamis (28/1/2021).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
7/10/2022, 19.00 WIB

Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan spiral inflasi atau siklus inflasi akibat kenaikan harga upah, masih minim. Kekhawatiran inflasi tinggi akan berkelanjutan seiring kenaikan harga saat pasar tenaga kerja dalam proses pemulihan.

Inflasi spiral merupakan kondisi kenaikan harga yang berkelanjutan seiring kenaikan upah pekerja. Inflasi tinggi mendorong penyesuaian harga pada tenaga kerja, alhasil konsumsi juga meningkat yang kemudian menjadi bahan bakar kenaikan inflasi berikutnya. Siklus kenaikan inflasi diikuti kenaikan upah berulang-ulang sehingga berbentuk layaknya spiral.

Permasalahannya, kenaikan harga, terutama terlihat di AS, terjadi bersamaan dengan gangguan pada pasar tenaga kerja. Kondisi pasar tenaga kerja yang ketat mendorong kenaikan gaji. Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa kondisi dapat mengarah pada inflasi spiral.

"Kami mengidentifikasi 22 situasi di negara maju selama 50 tahun terakhir dengan kondisi yang mirip dengan 2021 ketika inflasi harga meningkat, pertumbuhan upah positif, tetapi upah riil dan tingkat pengangguran datar atau turun. Episode-episode ini rata-rata tidak mengarah pada spiral harga-upah," kata IMF dalam laporan terbarunya dikutip Jumat (7/10).

Perkiraan bahwa spiral inflasi masih minim karena tiga alasan. Pertama, guncangan yang menjadi pendorong utama inflasi berasal dari luar pasar tenaga kerja. Kedua, penurunan upah riil membantu mengurangi tekanan harga.

Upah riil ini mencerminkan seberapa besar daya beli dari pendapatan pekerja. Upah riil yang turun terjadi karena kenaikan inflasi melampaui pertumbuhan upah.

Alasan ketiga, bank sentral secara agresif memperketat kebijakan moneternya. IMF menyambut 'senang' langkah pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral. "Mereka akan membantu mencegah inflasi tinggi mengakar dan inflasi yang menyimpang dari target bertahan terlalu lama," kata IMF.

Seperti diketahui, banyak bank sentral telah menaikan suku bunga kebijakannya. Di AS, suku bunga bank sentral bahkan sudah naik 300 bps sejak kenaikan pertama Maret lalu. Langkah agresif juga dilakukan sebagian besar bank sentral negara maju lainnya, termasuk diikuti oleh banyak bank sentral negara berkembang seperti Indonesia.

Meski demikian, IMF juga mengingatkan pentingnya mengelola ekspektasi inflasi ke depan. Alasannya ekspektasi inflasi ini akan sangat penting untuk membentuk dinamika upah dan harga serta tindakan yang perlu diambil oleh bank sentral.

Adapun lonjakan harga telah terlihat di banyak negara. Amerika Serikat telah menghadapi lonjakan harga yang semakin jauh dari target bank sentral 2%. Tanda-tanda penurunan inflasi di AS sudah terlihat tetapi masih bertahan tinggi di atas 8% secara tahunan pada bulan lalu.

Inflasi tinggi juga terjadi di negara-negara Eropa. Inflasi di Inggris mencapai 9,9% pada bulan lalu, sudah sedikit turun dari 10,1% pada bulan sebelumnya. Smentara inflasi melanjutkan kenaiakn di Zona Euro, naik dari 8,9% pada Juli menjadi 9,1% pada Agustus.

Di dalam negeri, tekanan inflasi juga meningkat tetapi relatif berada di level jauh di bawah negara-negara tersebut. Harga-harga naik mencapai 5,95% secara tahunan pada bulan lalu, lonjakan dari 4,69% pada bulan Agustus. Pendorong lonjakan inflasi bulan lalu karena kenaikan harga BBM.

Reporter: Abdul Azis Said