Sinyal Resesi Makin Dekat, Surplus Neraca Dagang Mulai Menyusut

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.
Suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (11/8/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
18/10/2022, 05.35 WIB

Risiko resesi ekonomi menghantui global tahun depan. Namun, bayangan ekonomi yang lesu sudah mulai terasa. Hal ini terlihat dari data ekspor Indonesia pada September yang turun 11% secara bulanan dan membuat surplus neraca dagang menyusut dibandingkan bulan sebelumnya.

Turunnya ekspor September merupakan pembalikan setelah bulan sebelumnya tumbuh 9% secara bulanan. Kontraksi tersebut juga lebih dalam dibandingkan September 2021 yang turun hanya 3,8% secara bulanan.

"Kinerja ekspor yang menurun bulan lalu ini sudah mencerminkan perlambatan ekonomi global. Ini didukung oleh harga komoditas yang mulai melandai di samping juga karena permintaan yang mulai turun terutama dari mitra dagang utama Indonesia," kata Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky dalam keterangannya, Senin (17/10).

Beberapa negara yang mencatatkan penurunan ekspor paling dalam terutama ke India yang anjlok US$ 722,1 juta. Nilai ekspor ke Amerika Serikat juga menurun US$ 472,3 juta, disusul Malaysia US$ 217,9 juta, Belanda US$ 157,2 juta dan Pakistan US$ 122,2 juta. Namun memang masih ada kenaikan ekspor ke beberapa negara bulan lalu tetapi tidak signifikan, utamanya ke Bangladesh dan Filipina.

Risiko perekonomian lebih menantang kedepannya. Sejumlah lembaga internasional memangkas prospek pertumbuhan ekonomi dengan kemungkinan beberapa negara akan merasakan resesi. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan meramalkan sepertiga perekonomian dunia akan mengalami kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun, kejadian yang dikenal sebagai resesi ekonomi.

"Karena itu, ada potensi perlambatan lebih jauh lagi untuk ekspor Indonesia ke depan dengan risiko reses," kata Riefky.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan tanda-tanda perlambatan ekonomi sebetulnya sudah terlihat. Hal ini terlihat dari penurunan beberapa harga komoditas yang sudah berlangsung beberapa bulan terakhir.

Ia melihat penurunan ekspor akan relatif terbatas kedepannya. Ekspor kemungkinan masih akan stagnan dibayangi pelemahan ekonomi banyak mitra dagang utama Indonesia.

"Ekspor masih mungkin stagnan, karena The Fed juga masih cenderung menaikkan suku bunga sehingga agak susah banyak negara untuk masuk zona ekspansi terutama dari manufakturnya, karena itu ekspor cenderung agak lambat sampai akhir tahun," kata David.

Tahun depan, ekspor juga akan melemah tetapi tidak akan signifikan karena beberapa faktor. Penurunan beberapa bulan ke depan tak lepas dari periode musiman di mana banyak negara sudah memenuhi persediaan menjelang musim dingin. Karena itu, saat musim dingin berlalu, banyak negara akan kembali melakukan restocking.

Selain itu, pelemahan ekspor kemungkinan pada komoditas non-energi, sementara ekspor beberapa komoditas energi seperti batu bara masih berpotensi tinggi. Karena itu, ekspor energi yang masih tinggi bisa mengkompensasi penurunan pada produk non energi seperti industri pengolahan.

Di sisi lain, ekspor yang akan lesu tahun depan terjadi saat ekonomi domestik pulih sehingga permintaan terhadap barang impor meningkat. Karena itu, David juga menyebut ada potensi neraca dagang berbalik defisit tahun depan setelah lebih dari dua tahun surplus.

Reporter: Abdul Azis Said