Sri Mulyani Beri Sinyal Tunda Cukai Minuman Berpemanis dan Plastik

123RF.com/Amnarj Tanongrattana
Pemerintah menerapkan cukai plastik, minuman berpemanis, hingga cukai emisi kendaraan bermotor untuk menambah penerimaan negara sebesar Rp 23 triliun.
25/10/2022, 08.44 WIB

Kementerian Keuangan tampaknya tidak akan buru-buru meluncurkan kebijakan baru cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik setidaknya pada tahun depan. Hal itu mempertimbangkan kondisi perekonomian yang dihadapkan pada sejumlah risiko, terutama ancaman resesi global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak secara spesifik menyebut cukai berpemanis dan plastik belum akan meluncur tahun depan. Namun ia mengatakan, pihaknya sedang tidak mempertimbangkan untuk merubahan kebijakan di bidang fiskal, baik pajak ataupun lainnya dalam situasi tak menentu seperti sekarang.

"Perubahan thershold pengusaha kena pajak (PKP) dan lainnya itu sedang tidak kami pikirkan. Kita akan cenderung menjaga secara steady dari pemulihan ekonomi," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA edisi Oktober, Jumat (21/10).

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Bea dan Cukai Askolani juga turut buka suara. Meskipun perencanaan kebijaknnya sudah masuk dalam UU APBN 2023, tetapi pihaknya akan melakukan evaluasi secara lengkap berbagai faktor seperti aspek kesehatan, ekonomi, sosial dan ketenagakerjaan.

"Untuk tahun depan, apakah akan kita implementasikan? Kita akan melihat kondisi aktual yang akan kita jalani ke depan secara komprehensif," ujarnya.

Adapun rencana pengenaan cukai MBDK dan plastik ini juga sudah masuk dalam UU APBN 2023. Target penerimana negara dari cukai tahun depan Rp 245,4 triliun.

Salah satu kebijakan teknis untuk mencapai target tersebut dengan ekstensifikasi cukai yakni MBDK dan plastik. Meski demikian, Kemenkeu memang tak pernah secara gamblang menyebut kebijakan ini akan meluncur tahun depan.

Dampak cukai pada harga barang

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengatakan tujuan dari pengenaan cukai baru ini yakni mengurangi konsumsi minuman berpemanis karena alasan kesehatan. Namun ia melihat alasan kesehatan tampaknya masih 'dikalahkan' oleh pertimbangan terhadap kondisi pemulihan ekonomi.

Menurutnya, penundaan kebijakan cukai baru karena aspek ekonomi merupakan langkah rasional. Pasalnya, beban masyarakat tentu akan bertambah dengan kenaikan harga barang imbas penerapan cukai  berpemanis maupun plastik.

"Dengan proyeksi bahwa perekonomian Indonesia 2023 dibayangi ketidakpastian, sangat tepat jika penerapan kenaikan cukai atas MBDK belum diterapkan pada 2023," ujar Prianto dalam keterangannya, Senin (24/10).

 Ia menilai, pemerintah perlu fokus pada menjaga perekonomian tahun depan di tengah berbagai risiko global. Setelahnya, kebijakan cukai dinilai memungkinan untuk meluncur pada 2024.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyarankan pemerintah tetap meluncurkan kebijakan cukai baru ini tahun depan. Pasalnya, diskusi terkait ekstensifikais cukai ini dinilai sudah terlalu lama, alih-alih berbicara terkait teknis adminsitrasinya.

Di samping itu, ia juga mengkritisi soal ketidakjelasaan indikator ekonomi pulih. Fajry menilai tak ada jaminan saat ekonomi benar-benar pulih penuh kemudian pemerintah memiliki keinginan  menerapkan ekstensifikasi cukai.

"Secara politik, tahun depan merupakan kesempatan terakhir, mengingat tahun 2024 sudah masuk ke masa Pemilu, dan pemerintah yang baru nantinya belum tentu memiliki concern yang sama," ujarnya.

Salah satu pertimbangan penerapan cukai berpemanis adalah prevalensi diabetes melitus terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, terutama untuk kelompok usia 55-64 tahun dan 65-74 tahun. Persentase kedua kelompok ini mencapai 6% pada 2018, dari sebelumnya di kisaran 2%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan klaim peserta untuk penyakit tersebut merupakan salah satu beban besar yang ditanggung BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, untuk menguranginya, pemerintah mengusulkan pengenaan tarif cukai terhadap minuman berpemanis, penyebab utama diabetes melitus.

Reporter: Abdul Azis Said