Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan neraca keuangan pemerintah masih akan surplus sampai Oktober sekalipun terdapat pembayaran jumbo untuk kompensasi BBM kepada Pertamina dan listrik kepada PLN sebesar Rp 163 triliun.
APBN telah mencatat surplus selama sembilan bulan beruntun tahun ini berkat kinerja moncer pada pendapatan negara. Direktur Jenderal Anggaran (DJA) Isa Rachmatarwata mengatakan kinerja pendapatan negara masih cukup bagus sampai bulan lalu. Realisasi belanja juga disebut berjalan sesuai rencana.
"Pokoknya yang Oktober ini belanjanya berjalan sesuai yang kami perkirakan, nampaknya belum akan membuat APBN menjadi defisit," kata Isa ditemui di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (1/11).
Isa mengatakan APBN masih akan surplus sekalipun pemerintah melakukan pengeluaran jumbo untuk membayar tagihan kompensasi ke Pertamina dan PLN. Rinciannya, kompensasi yang dibayarkan ke Pertamina sebesar Rp 132,1 triliun, sedangkan PLN sebesar Rp 31,2 triliun. Tagihan itu sudah dibayar pada 31 Oktober.
Pembayaran kompensasi ke Pertamina dan PLN tersebut dilakukan dalam rangka kewajiban pemerintah atas penugasan penyediaan pasokan BBM dan listrik dalam negeri. Kompensasi yang dibayarkan ke Pertamina atas subsidi terhadap Pertalite dan Solar, serta subsidi listrik yang disediakan PLN.
APBN masih berhasil mencatat surplus Rp 60,9 triliun sampai dengan bulan lalu seiring pembayaran jumbo kompensasi BBM dan listrik belum dilakukan. Surplus APBN bulan lalu setara 0,33% produk Domestik Bruto (PDB). Meski demikian surplus September tidak setinggi bulan sebelumnya yang mencapai Rp 107,4 triliun.
Keseimbangan primer juga mencatatkan surplus Rp 339,4 triliun, bahkan lebih besar dibandingkan bulan sebelumnya Rp 301,5 triliun. Surplus jumbo ini merupakan pembalikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencatat defisit dalam hingga Rp 198,2 triliun.
Neraca keuangan pemerintah yang masih mencatat surplus tersebut seiring realisasi pendapatan negara yang masih tumbuh lebih tinggi dibandingkan belanja negara. Pendapatan negara selama sembilan bulan terakhir nyaris tembus Rp 2.000 triliun, dengan pertumbuhan 45,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, belanja tumbuh lebih lambat dibandingkan pendapatan sebesar 7,6% menjadi Rp 1.361,2 triliun, terutama karena kenaikan pada belanja non-kementerian dan lembaga (K/L), sementara belanja K/L menyusut. Belanja negara berupa transfer ke daerah tumbuh 2% mencapai Rp 552,7 triliun.
"Belanja pemerintah pusat terutama oleh K/L masih terkontraksi terutama yang berhubungan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dan kesehatan juga, namun beberapa kementerian dan lembaga memang masih perlu mengakselerasi belanjanya," kata Sri Mulyani.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu sebelumnya mengatakan defisit APBN tahun ini mendekati 3%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 3,92% maupun dari target dalam APBN 4,5%.
Sisa anggaran belanja yang nyaris Rp 1.200 triliun di kuartal keempat akan didorong menjadi lebih berkualitas sehingga bisa membentuk cash buffer untuk tahun depan.