Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan sampai saat ini belum ada alokasi khusus di dalam anggaran dan pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk menutup pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Berdasarkan hitung-hitungan terbaru, biaya proyek ini bengkak sekitar Rp 21 triliun menjadi lebih dari Rp 110 triliun.
"Terkait kebijakan apakah APBN akan intervensi di KA cepat, ini sebenarnya rapatnya sangat panjang dan sekarang pun kelihatannya belum final akan seperti apa," kata Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya dalam media briefing di Bogor, Jumat (4/11).
Tiga pihak yang terlibat antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta konsorsium proyek asal Indonesia, ketiganya masih berunding. Pembahasan masih alot terkait apakah APBN perlu mendukung adanya pembengkakan biaya proyek. Pasalnya, sesuai amanat dalam aturan yang ada, proyek ini menggunakan skema business to business (B2B).
Salah satu yang didiskusikan juga terkait aspek legal hukum jika APBN kemudian disepakati untuk masuk ke proyek ini. Karena itu, salah satu pihak yang kini juga diundang ke dalam diskusi yakni Kejaksaan Agung. "Pihak Kejagung ini untuk meminta fatwa hukumnya seperti apa," kata Made.
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo alias Tiko sebelumnya melaporkan hasil asersi terbaru oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukan proyek kereta cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya US$ 1,45 miliar atau setara Rp 21,6 triliun (kurs Jisdor pertengahan September 2022 saat asesmen keluar). Dengan demikian, biaya proyek ini bengkak menjadi US$ 7,5 miliar atau Rp 111,7 triliun.
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan pembengkakan biaya, salah satu yang terbesar terkait biaya untuk pekerjaan subgrade dan terowongan. Pasalnya, terdapat terowongan sepanjang 4,6 KM yang ternyata tanahnya runtuh dan harus diperbaiki. Beberapa wilayah juga dilaporkan tanahnya longsor.
Proyek juga memerlukan tambahan biaya investasi untuk persinyalan GSM-R dengan kebutuhan tambahan biaya investasi Rp 1,3 triliun untuk clearance frekuensi. Beberapa pembangunan infrastruktur yang biayanya belum masuk dalam perhitungan awal seperti penyediaan transmisi listrik PLN, pembangunan stasiun Halim untuk integrasi ke LRT, serta biaya untuk relokasi dari Stasiun Walini ke Stasiun Padalarang.
Beberapa biaya non-konstruksi diketahui juga belum masuk dalam perhitungan dalam biaya sebelumnya sehingga menimbulkan pembengkakan biaya yang dihitung saat ini. "Termasuk pembayaran pajak atas sewa tanah, ini memang awalnya tidak masuk biaya awal tapi sekarang kami (pihak Indonesia) sudah sepakati bahwa ini harus masuk. Karena tadinya pihak Cina menyebut ini biaya pemerintah dan bukan biaya proyek, ini yang sedang kita selesaikan negosiasinya untuk bisa tuntas," kata Tiko dalam rapat dengan komisi VI DPR RI, Senin (1/11).