Ekonomi Tahun Ini Tumbuh Kuat, Kemenkeu Waspadai 5 Risiko Tahun Depan

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.
Ilustrasi. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,7% pada kuartal ketiga tahun ini.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
8/11/2022, 16.59 WIB

Perekonomian Indonesia menunjukkan performa yang kuat hingga kuartal ketiga tahun ini dengan pertumbuhan di atas 5% selama empat kuartal beruntun. Namun, Kementerian Keuangan melihat terdapat lima risiko yang membayangi perekonomian domestik tahun depan. 

"Pertumbuhan ekonomi tahun ini memang cukup menjanjikan. Kami masih pakai range 5%-5,3% dengan kecenderungan di batas atas. Kami  lihat beberapa predimsi lembaga internasional juga cukup confirm," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam media briefing di Bogor, Jumat (4/11).

Perekonomian Indonesia berhasil tumbuh 5,72% secara tahunan pada kuartal ketiga tahun ini. Konsumsi masih kuat, investasi meningkat dan ekspor juga masih signifikan menopang pertumbuhan. Namun ada risiko mulai adanya perlambatan memasuki tahun depan.

Perkiraan sejumlah lembaga internasional mengkonfirmasi bahwa ekonomi Indonesia akan melambat tahun ini. Dana Moneter Internasional (IMF) meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat dari proyeksi awal sebesar 5,3% tahun ini menjadi 5% pada tahun depan.

Bank Pembangunan Asia (ADB) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat 0,4 poin persentase menjadi 5%. Demikian pula dengan  konsensus Bloomberg yang memperkirakan ekonomi Indonesia melambat 0,2 poin persentase menjadi 5%.

"Kami lihat bahwa pemulihan ekonomi masih akan terus berlanjut pada 2023. Sektor strategis masih tumbuh ekspansi konsumsi kuat, inflasi jauh lebih moderat dibandingkan banyak negara lain, dan sampai saat ini kita masih melihat kinerja positif dari APBN," kata Febrio.

Namun Febrio mengingatkan risiko ketidakpastian tahun depan masih tinggi. Ia membeberkan, terdapat lima risiko yang harus diwaspadai tahun depan: 

  1. Efek luka memar akibat inflasi yang tinggi berpotensi memicu stagflasi di beberapa negara di dunia
  2. Perlambatan ekonomi global tahun depan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi domestik. Sejumlah negara ekonomi terbesar dunia memang diramal bakal melambat tahun depan, beberapa diantaranya terancam resesi
  3. Risiko geopolitik perang Rusia dan Ukraina masih membayangi, bisa berdampak terhadap gangguan suplai dan kenaikan harga komoditas 
  4. Pengetatan kebijakan moneter secara agresif menyebabkan biaya utang menjadi tinggi dan menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar
  5. Potensi moderasi harga komoditas.

Kelima risiko ini juga menjadi pertimbangan Kementerian keuangan dalam menyusun rancangan APBN tahun depan yang akan memasuki fase konsolidasi defisit di bawah 3%.  Target pendapatan negara tahun depan didesain konservatif dengan kenaikan hanya naik 8,7%, sedangkan belanja ditargetkan turun 1,5%.

"Kami mendesain APBN 2023 memang waspada dan antisipatif, akan tetapi dalam konteks kita tetap optimis karena memang kami melihat cukup banyak peluang untuk kita bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja," kata Febrio.

Risiko Indonesia versi IMF

IMF memperkirakan ekonomi Indonesia melambat dengan pertumbuhan 5% pada tahun depan. Dari dalam negeri, kenaikan inflasi disebut membayangi proses pemulihan. Namun demikian, tekanan inflasi diramal melandai tahun depan. Pengendalian inflasi ini menjadi kunci bagi ekonomi domestik tahun depan.

"Dari sisi risiko, Indonesia tidak berbeda dengan negara Asia Pasifik lainnya, bahwa ada risiko yang semakin intensif dari tiga guncangan," kata Kepala Divisi Studi Regional Departemen Asia dan Pasifik IMF Shanaka Jay Peiris dalam media briefing, Jumat (28/10).

Adapun ketiga risiko tersebut berasal dari eksternal. Pertama, pengetatan pasar keuangan global. Bank sentral AS, The Fed agresif mengerek suku bunga sehingga menimbulkan kenaikan imbal hasil alias yield di banyak negara Asia termasuk Indonesia.

Kedua, perang antara Rusia dan Ukraina yang telah mendorong kenaikan harga komoditas. Namun, risiko harga komoditas ini dilihat tidak akan terlalu berdampak mengingat Indonesia diuntungkan sebagai eksporter komoditas.

Ketiga, perlambatan ekonomi Cina. Pertumbuhan Cina tahun ini diperkirakan 3,2% dan merupakan salah satu pertumbuhan paling rendah sejak 1977. Perlambatan ini bersumber dari kebijakan lockdown zero Covid-19 dan masalah di sektor properti.

"Perlambatan di Cina akan menjadi sesuatu yang harus diperhatikan dengan cermati," kata Jay.

 

Reporter: Abdul Azis Said