Dunia Dibayangi Resflasi, Gelombang PHK Terancam Berlanjut Tahun Depan

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Seorang karyawan berjalan usai bekerja di Jakarta, Senin (24/10/2022). Berdasarkan data Center of Economics and Law Studies (Celios), adanya resesi global yang diprediksi terjadi pada 2023 bisa berdampak terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), karena tahun 2022 pertumbuhan ekonomi global hanya berkisar 3,2 persen, sementara di tahun 2020 mencapai 6,1 persen.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
22/11/2022, 18.24 WIB

Prospek ekonomi dunia tahun depan diperkirakan lebih buruk dibandingkan tahun ini. Beberapa negara kemungkinan masuk ke jurang resesi di tengah inflasi tinggi. Pemburukan perekonomian tersebut dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja yang sejak beberapa bulan terakhir sebetulnya mulai ramai dengan isu pemutusan hubungan kerja (PHK).

Bank Indonesia melihat situasi ekonomi dunia tahun depan akan semakin sulit. Dalam skenario terburuk bank sentral, ekonomi dunia pada 2023 hanya akan tumbuh  2%,melambat dari tahun ini diperkirakan 3%. Probabilitas resesi juga meningkat, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Bank Indonesia bahkan menyebut tantangan ekonom tahun depan bukan hanya stagflasi, mengarah ke resflasi atau kombinasi resesi dengan inflasi tinggi.

Dampak perlambatan ekonomi dunia ke dalam negeri mulai terasa dalam beberapa bulan terakhir, terlihat dari ramainya isu PHK. Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tren PHK yang berlangsung beberapa bulan terakhir terlihat di industri tekstil dan produk turunanya hingga startup. Ia melihat probabilitas terbesar gelombang PHK tahun depan masih bersumber dari dua sektor lapangan usaha tersebut.

Industri tekstil, termasuk alas kaki, merupakan sektor yang sangat bergantung terhadap ekspor. Namun, pelemahan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa berisiko menyebabkan permintaan terhadap pakaian hingga sepatu dari Indonesia berkurang.

Pabrik-pabrik tekstil juga akan menghadapi biaya produksi yang semakin tinggi pada tahun depan. Salah satunya juga akan terpengaruh oleh kenaikan upah buruh. "Ini mau tidak mau mereka akan melakukan efisiensi, mengurangi kapasitas produksi yang bisa juga berdampak pada pengurangan karyawan," kata Faisal saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (22/11).

Ia melihat risiko PHK di startup-startup dalam negeri juga masih akan berlanjut tahun depan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perubahan tahapan bisnis pasca pandemi serta kenaikan biaya operasional seiring kenaikan inflasi. Meski demikian, Faisal masih belum yakin gelombang PHK di startup maupun industri tekstil tahun depan akan lebih besar dari tahun ini.

Ia juga belum melihat gelombang PHK akan meluas ke sektor lapangan usaha lainnya. Sektor yang penjualan produknya berorientasi di dalam negeri akan relatif lebih aman. Sektor usaha yang tujuan ekspornya ke Cina diperkirakan juga masih akan aman seiring prospek perekonomian negeri tirai bambu tahun depan yang diperkirakan sedikit membaik dibandingkan akhir tahun ini.

Ekonom LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNI Teuku Riefky melihat dampak perlambatan ekonomi dunia tahun depan tidak akan signifikan ke Indonesia. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi domestik juga masih bisa mendekati 5% pada tahun depan saat banyak negara lain diperkirakan tumbuh lebih rendah.

Ia juga memperkirakan gelombang PHK tahun depan tidak besar. Hal ini seiring dampak perlambatan ekonomi dunia ke indonesia yang tidak besar. "Kalaupun ada peningkatan pengangguran, bukan sampai pada level yang perlu dikhawatirkan," ujarnya.

Meski demikian, ia menyebut sektor-sektor yang bergantung pada harga komoditas perlu mengencangkan sabuk pengaman. Pasalnya, perlambatan ekonomi dunia tahun depan bakal menyebabkan harga komoditas termoderasi.

"Tapi apakah sektor-sektor yang bergantung pada komoditas ini akan melakukan PHK, ini belum diketahui, bisa jadi iya atau justru tidak, ini tergantung seberapa besar dampak perlambatan permintaan tersebut," kata Riefky.

Reporter: Abdul Azis Said