Aksi Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK karyawan marak terjadi dalam beberapa bulan terakhir, terutama di industri tekstil dan startup. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat pajak penghasilan atau PPh 21 yang dibayarkan karyawan per Oktober 2022 justru melesat 21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"PPh 21 ini adalah pajak yang dibayarkan karyawan dan memang ini agak kikuk kalau dibandingkan dengan beberapa berita mengenai PHK," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Kamis (24/11).
Ia menjelaskan, PPh 21 adalah pajak yang dibayarkan perusahaan atas penerimaan yang diperoleh karyawan. Pertumbuhan PPh 21 dalam tiga kuartal terakhir terus menngkat dari 18,5% secara tahunan pada kuartal I, menjadi 19,8% pada kuartal II, dan 26,8% pada kuartal III. Namun, angkanya menurun pada Oktober dengan pertumbuhan tahunan sebesar 17,8%.
"Pertumbuhan pajak karyawan masih positif. Jadi kita harus menyikapi beberapa berita PHK dalam konteks, apakah perlu ada perubahan yang perlu didalami untuk merespons kebijakan yang tepat," kata dia.
Ia mengatakan, akan mempertimbangkan pemberian bantuan untuk mengatasi maraknya PHK yang sedang terjadi di dalam negeri. "Kami akan melihat instrumen mana yang bisa dibantu dan siapa yang harus dibantu, apakah korporasi-nya atau buruh-nya," kata dia.
Untuk membuat bauran kebijakan dalam mengatasi masalah PHK ini, Sri Mulyani akan berdiskusi dulu dengan beberapa pihak seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Ia menjelaskan, bantuan akan berasal dari Kemenaker atau BPJS Ketenagakerjaan jika memang dibutuhkan untuk buruh yang terkena atau terancam PHK. Sementara jika PHK disebabkan oleh kinerja korporasi yang lesu, menurut dia, akan dipertimbangkan apa akan kembali diberikan penundaan atau pengurangan pembayaran pajak penghasilan (PPh) 25.
Sri Mulyani menjelaskan fenomena badai PHK antara lain terjadi karena pengendalian permintaan ekspor, terutama tekstil dan produk tekstil serta alas kaki, dari beberapa negara maju dengan kenaikan suku bunga acuan yang agresif.
"Kami lihat ini dampaknya terhadap ekspor bukan hanya di Indonesia, tetapi di Vietnam dan Bangladesh," ujarnya.
Ia menuturkan terdapat tekanan pada ekspor tekstil dan produk tekstil di beberapa korporasi pada bulan Oktober 2022, sedangkan ekspor alas kaki masih cukup baik. Maka dari itu, menurut dia, seluruh data korporasi tersebut akan terus dipantau, mulai dari tren impor bahan bakunya, ekspor, hingga pembayaran pajak untuk PPh, pajak pertambahan nilai (PPN), serta restitusi.