UMP Naik Maksimal 10%, Bagaimana Efeknya ke Gelombang PHK Tahun Depan?

ANTARA FOTO/Umarul Faruq/wsj.
Ilustrasi. Ekonom melihat formula kenaikan UMP maksimal 10% tidak akan signifikan mendorong gelombang PHK tahun depan.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
29/11/2022, 17.30 WIB

Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) ditetapkan maksimal 10% pada tahun depan. Kenaikan upah ini berisiko mendorong berlanjutnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi terbatas pada beberapa sektor tertentu.

Beberapa provinsi sudah mengumumkan besaran kenaikan UMP tahun depan mulai kemarin (28/11),  setelah Kemenaker menetapkan kenaikan maksimal 10%. DKI Jakarta menetapkan UMP sebesar 5,6%, Banten 6,4%, Jawa Timur 7,86%, Jawa Barat 7,88%, Jawa Tengah 8,01%, Bali 7,81%, Sumatera Barat 9,15%, dan Maluku Utara 4%.

Kenaikan upah minimum akan mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan pengusaha dan berisiko mendorong dunia usaha melakukan efisiensi termasuk dari sisi tenaga kerja. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut dunia usaha bahkan sudah menghadapi masa sulit bahkan sebelum keluarnya kebijakan besaran UMP tahun depan.

"Sebelum kenaikan UMP beberapa sektor industri seperti sepatu dan garmen sudah mulai proses PHK karena permintaan dunia yang menurun. Jadi tanpa ada (kenaikan) UMP pun sebetulnya sudah ada masalah, lantas ada UMP," kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (29/11).

Meski demikian, Anton enggan berkomentar lebih lanjut terkait seberapa besar kenaikan UMP tahun depan mempengaruhi pasar tenaga kerja. Menurutnya, Apindo belum spesifik melihat besaran-besaran kenaikan UMP yang diumumkan tiap provinsi. Asosiasi pengusaha masih menyoroti proses penetapan UMP yang dinilai melanggar prosedur hukum.

Direktur Eksekutif/Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal melihat kenaikan UMP tidak akan serta merta membuat semua sektor usaha akan melakukan efisiensi pekerja. Namun, pabrik-pabrik tekstil dan alas kaki/sepatu menjadi dua sektor yang dinilai paling berisiko kembali melanjutkan gelombang PHK tahun depan.

"Ini kombinasi dari beberapa faktor, karena sektor tersebut padat karya, sangat sensitif terhadap tingkat upah dan disisi lain dia pasarnya ekspor ke negara-negara yang permintaannya terancam melemah," kata faisal.

Dua sektor tersebut belakangan dikabarkan sudah mulai melakukan PHK seiring permintaan dunia yang menurun. Apindo mencatat, pabrik-pabrik sepatu di dalam negeri bahkan sudah kehilangan 50% dari permintaan dari luar negeri, begitu juga garmen yang permintaannya menurun hingga 30%.

Selain pabrik pakaian dan alas kaki, industri otomotif sebetulnya juga banyak berorientasi ekspor. Meski demikian, Faisal menyebut sektor tersebut tidak terlalu berisiko dilanda gelombang PHK karena tujuan ekspornya bukan ke negara-negara yang prospek ekonominya lemah pada tahun depan. Di samping itu, sektor-sektor yang pasarnya didominasi dalam negeri juga dinilai relatif aman tahun depan meskipun ada kenaikan UMP.

Direktur Eksekutif/Ekonom Celios Bhima Yudhistira menilai formula kenaikan UMP maksimal 10% tidak akan signifikan mendorong gelombang PHK tahun depan. Hal ini karena kenaikannya pun dinilai relatif rendah. Apalagi, pemerintah juga sudah digelontorkan menggelontorkan berbagai stimulus untuk membantu dunia usaha agar dapat menjaga keberlanjutan usahanya.

"Pengusaha padat karya juga sudah mendapat perpanjangan restrukturisasi kredit," ujarnya.

 

Reporter: Abdul Azis Said