Poin-poin Kontroversial RUU PPSK yang Rombak Aturan BI, OJK, LPS

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia (kedua kiri) dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (8/12/2022). Rapat kerja tersebut membahas mengenai naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).
Penulis: Agustiyanti
12/12/2022, 18.50 WIB

Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) akan segera dibawa ke Sidang Paripurna agar dapat disahkan sebagai undang-undang. Meski tinggal selangkah lagi, sejumlah poin dalam RUU ini masih mengandung perdebatan di masyarakat. 

Omnibus law ini akan mengubah sejumlah pasal dalam 17 undang-undang, terutama di sektor keuangan. Undang-undang yang diubah melalui RUU PPSK, yakni UU Dasar 1945, UU Perbankan, UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU Bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan, UU Pasar Modal, UU Perdagangan Berjangka Komoditi, UU Surat Utang Negara, UU Lembaga Penjamin Simpanan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Perbankan Syariah, UU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, UU Perasuransian, dan UU Penjaminan.

Wakil Ketua Komisi XI Dolfie OFP menjelaskan, RUU PPSK terdiri dari 27 BAB yang berisikan 341 pasal. Rancangan undang-undang ini dirumuskan berdasarkan pembahasan ribuan daftar inventaris masalah yang disampaikan pemerintah dalam rapat panja.  

"Diundangkannya RUU PPSK akan menjadi momentum reformasi sektor keuangan sehingga mampu menciptakan ekosistem yang mampu meningkatkan kolaborasi dengan menghadirkan interkonektivitas antara lembaga sektor keuangan maupun seluruh industri keuangan," ujar Dolfie dalam rapat kerja dengan pemerintah, akhir pekan lalu. 

Berikut poin-poin yang masih menjadi kontroversi dalam RUU PPSK berdasarkan draf versi 8 Desember yang diperoleh Katadata.co.id:

  • Kewenangan Menteri Keuangan

Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mendapatkan tambahan kewenangan dalam RUU PPSK, yakni berhak mengambil keputusan jika terjadi deadlock saat rapat pengambilan keputusan di KSSK.

  • Independensi Bank Indonesia

RUU PPSK merevisi pasal 9 UU Bank Indonesia terkait larangan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Dalam pasal yang direvisi tersebut, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan RUU tersebut. 

Adapun dalam penjelasan RUU PPSK terkait pasal tersebut, hal-hal tertentu yang dimaksud, di antaranya dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan atau perekonomian nasional.

Penjelasan RUU PPSK juga menjabarkan bahwa koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak krisis dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta memelihara Stabilitas Sistem Keuangan tidak termasuk dalam pengertian “campur tangan Pemerintah”. Kerja sama antara BI dan pihak lain atau pemberian bantuan teknis oleh pihak lain atas permintaan BI juga tak termasuk dalam pengertian 'campur tangan pihak lain'. 

  • Pembelian Surat Berharga Negara oleh Bank Indonesia di Pasar Perdana

Bank Indonesia dalam RUU PPSK kembali diberi kewenangan untuk membeli surat berharga negara di pasar perdana. Kewenangan ini berlaku dalam kondisi krisis sebagaimana ditetapkan oleh presiden. 

Kewenangan BI membeli SBN di pasar perdana sebenarnya sudah diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Melalui ketentuan pada beleid tersebut,  lahir tiga Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kemenkeu dan BI yang berakhir tahun ini. Namun UU tersebut hanya berlaku selama status pandemi masih berlaku.

  • Kewenangan Baru LPS sebagai Penjamin Polis

LPS memperoleh tambahan kewenangan sebagai lembaga penjamin polis dalam RUU PPSK. Penjaminan polis ini bertujuan melindungi pemegang polis, tertanggung atau peserta dari perusahan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang dicabut izin usahanya akibat kesulitan keuangan.

  • Tambahan Kewenangan OJK

Melalui RUU PPSK, OJK mendapatkan tambahan kewenangan untuk mengawasi kegiatan investasi di sektor inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK), aset keuangan digital, dan aset kripto, hingga perdagangan atau bursa karbon. 

  • Pengelolaan Pungutan Industri Keuangan

    Aturan terkait pungutan industri sektor jasa keuangan diubah dalam RUU PPSK. Pungutan industri jasa keuangan tak lagi masuk sebagai penerimaan OJK, tetapi akan dikelola sesuai peraturan perundang- undangan di bidang keuangan negara. 

Adapun anggaran OJK dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

  • Tambahan Anggota Dewan Komisioner dan Pembentukan Badan Supervisi OJK - LPS

RUU PPSK mengamanatkan penambahan jumlah anggota dewan komisioner LPS dari saat ini enam anggota dewan komisioner menjadi tujuh anggota dewan komisioner. Sementara jumlah anggota dewan komisioner OJK ditambah dari sembilan menjadi 11 anggota dewan komisioner. 

Omnibus law ini juga mengamanatkan pembentukan badan supervisi OJK dan LPS, sebagaimana yang dimiliki Bank Indonesia saat ini.