Protes Bupati Kepulauan Meranti M Adil soal jatah Dana Bagi Hasil (DBH) yang menyebut Kementerian Keuangan diisi 'iblis' menuai pro-kontra. Satu persatu pejabat Kementerian Keuangan angkat bicara terkait tudingan tersebut. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga memberikan teguran keras kepada Adil.
Semuanya bermula dari Rakornas Optimalisasi Pendapatan Daerah yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, pekan lalu. Saat itu, Adil mempertanyakan jatah DBH yang diperoleh daerahnya sebagai produsen kaya minyak hanya naik tipis meski harga dan produksi minyak daerahnya terus naik. Adapun DBH merupakan jatah anggaran yang diperoleh pemda, salah satunya atas pendapatan negara dari pengeboran minyak dan gas.
"Lifting minyak kami hampir 8 ribu barrel per hari. Semenjak konflik Rusia-Ukraina harga minyak naik. Untuk bapak ketahui, tahun ini kami hanya terima Rp 115 miliar, naiknya hanya Rp 700 juta," ujar Adil dalam Rakornas tersebut yang seperti dikutip dari unggahan Yotube Merdeka.com, Selasa (13/12).
Meranti merupakan salah satu produsen minyak di Provinsi Riau. Adil menyayangkan daerah kaya minyak itu justru menjadi daerah dengan penduduk miskin paling banyak se-provinsi.
Ia pun sempat mencoba mengajukan protes kepada Kementerian Keuangan. Namun menurut pengakuannya, anak buah Sri Mulyani justru sulit ditemui. Ia bercerita sudah berulang kali melayangkan surat ke Menteri Keuangan untuk permohonan audiensi.
Kementerian Keuangan, menurut dia, sebenarnya juga telah memberikan audiensi, tetapi dilakukan melalui daring. Ia mengaku tak puas dengan audiensi secara daring dan membandingkanya dengan audiensi secara luring yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri.
Adil pun sempat hadir dalam sebuah acara dan mendapat penjelasan dari Kemenkeu di Bandung, tetapi masih belum puas karena acara tersebut hanya dihadiri oleh pejabat yang dinilainya kurang kompeten.
"Sampai waktu itu itu saya bicara, orang Kemenkeu itu isinya iblis atau setan," ujarnya di depan Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman, tangan kanan Sri Mulyani yang mengurusi transfer dana ke daerah.
Ia juga mengaku telah bertemu dengan Mendagri Tito Karnavian sebelum menghadiri Rakornas. Dalam pertemuan tersebut, Adil mengungkapkan rencananya untuk menggugat Presiden Jokowi.
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat itu sampai pada ancamannya untuk melepaskan diri dari Indonesia. Kabupaten Kepulauan Meranti memang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan secara geografis dekat dari Malaysia.
"Kalau enggak mau ngurus, kasih lah kami ke negeri sebelah. Atau bapak tidak paham juga omongan saya, apa perlu Meranti angkat senjat? Kan enggak mungkin. Ini menyangkut masyarakat Meranti yang miskin ekstrim," ujarnya.
Tanggapan Kementerian Keuangan
Pernyataan pedas Bupati Kepulauan Meranti itu kemudian ditanggapi Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam utas di akun twitter resminya @prastow. Ia keberatan dan menyayangkan pernyataan Adil.
"Ini jelas ngawur dan menyesatkan, karena Kemenkeu justru sesuai UU telah menghitung dan menggunakan data resmi Kementerian ESDM dalam membagi DBH," tulisnya, Minggu (11/12).
Pemerintah pusat mengalokasikan anggaran Rp 207,7 miliar untuk transfer DBH ke Kabupaten Kepulauan Meranti pada tahun depan, naik 4,84% dibandingkan tahun ini. Namun khusus untuk DBH migas, angkanya memang turun 3,53% menjadi Rp 115 miliar.
Prastowo menyebut, penurunan tersebut karena lifting minyak tahun ini dari data Kementerian ESDM menunjukkan penurunan dari 2.489,71 ribu menjadi 1.970,17 ribu barrel setara minyak. Penurunan lifting migas tahun ini berpengaruh pada formulasi perhitungan DBH yang diberikan tahun depan.
Ia juga mengingatkan bahwa aturan baru dalam UU HKPD mengubah ketentuan pembagian DBH. Dana bukan hanya ditransfer ke daerah produsen, tetapi juga ke daerah pengolah serta daerah tetangga yang berbatasan langsung dengan daerah produsen.
Dengan demikian, uang hasil produksi minyak di Kabupaten Kepulauan Meranti sebetulnya bukan hanya diberikan Kabupaten Meranti saja, tetapi juga kabupaten tetangganya yang berbatasan langsung.
Selain menjelaskan asal usul dana yang akan ditransfer ke pemda Kepulauan Meranti, Prastowo juga menyampaikan beberapa kritikannya karena pengelolaan keuangan di daerah tersebut rupanya lambat. Ia menyebut indikator kinerja pengelolaan anggaran daerah itu lebih rendah dari kebanyakan daerah lain di Indonesia.
Realisasi bansos untuk masyarakat miskin terdampak inflasi juga baru terpakai kurang dari 10% sampai 9 Desember. Belanja daerah secara keseluruhan di Kabupaten Kepulauan Meranti juga baru terserap 62,5%.
Prastowo juga menyarankan Adil fokus memperbaiki kinerja pengelolaan anggaran di daerahnya alih-alih menyampaikan pandangan yang menurutnya tidak berdasar dan tidak sesuai mekanisme kelembagaan.
"Kasihan publik dikecoh dengan sikap seolah heroik untuk rakyat, faktanya manipulatif. Mestinya kita tingkatkan koordinasi dan sinergi, bukan obral caci maki. Kami meradang lantaran etika publik menghilang," cuit Prastowo dalam akun Twitter-nya.
Setelah Prastowo, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga ikut angkat bicara lewat unggahan di akun instagram pribadinya @suahasil. Ia menyebut pandangan Adil soal pegawai Kemenkeu yang diisi iblis atau setan tidak 'proper sama sekali'.
Alih-alih hanya hadir lewat transfer ke daerah, ia menyebut uang negara juga sampai ke masyarakat di daerah lewat belanja di kementerian atau lembaga (K/L) dan belanja pemerintah pusat lainnya. Pembangunan jalan melalui anggaran Kementerian PUPR, bansos lewat Kemensos hingga aparat keamanan polisi TNI di pelosok-pelosok daerah dibiayai dari APBN.
Anggaran pemerintah pusat ke daerah juga termasuk anggaran jumbo ratusan triliun untuk subsidi BBM hingga listrik. Menurutnya, berbagai kritikan untuk perbaikan memang harus terus dilakukan. Namun, menurut dia, kritik perlu disampaikan dengan data dan cara yang baik.
"Yang paling menyedihkan adalah ketika berpikir pindah negara sebelah saja, ini jauh dari cita-cita pendiri Republik, dan jauh dari cita-cita Indonesia," ujarnya, Senin (12/12).
Dipanggil Kemendagri hingga Dugaan Makar
Adil sempat menyanjung kantor Tito yang dinilainya lebih terbuka dan menyambutnya hangat untuk audiensi ketimbang kantor Sri Mulyani. Ia bahkan sempat menyebut sempat berkonsultasi dengan pembinanya, Tito.
Secara struktural, seluruh pemda memang berkoordinasi dengan pemerintah pusat lewat Kemendagri sehingga secara tidak langsung Tito telah menjadi 'pembina' bagi para kepala daerah.
Usai pernyataannya soal Kemenkeu 'iblis' atau 'setan' ramai diperbincangkan publik Adil kemudian dipanggil Kemendagri ke Jakarta. Dikutip dari Antaranews, ia tiba di Jakarta kemarin pagi dan disambut langsung oleh Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro dan Dirjen Bina Keuangan Daerah Agus Fatoni.
Suhajar diketahui memberikan beberapa wejangan kepada Adil agar menjaga etika berkomunikasi. Ia juga menyayangkan sikap dan pernyataan Adil yang dinilai tidak elok sebagai pejabat publik.
"Apa yang menjadi kegelisahan dan harapan Bupati Kepulauan Meranti sebenarnya bisa dikomunikasikan dan diselesaikan secara baik-baik, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat," kata Suhajar.
Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini menyebut persoalan otonomi dan keadilan pusat daerah seperti yang diprotes Bupati Kepulauan Meranti tersebut merupakan persoalan klasik. Ia menilai protes tersebut wajar dan harus ditanggapi pemerintah pusat dengan transparan.
"Bahkan jika perlu ada perbaikan-perbaikan aturan baik, baik undang-undang maupun aturan main di bawahnya. Aspirasi pemerintah daerah harus tetap diperhatikan karena daerah merupakan bagian dari satu kesatuan NKRI," ujarnya dalam keterangan resmi dikutip, Selasa (13/12).
Meski demikian, menurutnya persoalan menjadi lain ketika bupati tersebut mengkritik secara 'bar-bar' dengan menyebut Kemenkeu diisi iblis atau setan. Ancaman untuk angkat senjata dan melepas diri dari NKRI tersebut dinilai bisa menjurus kepada makar.
Didik khawatir tindakan Adil tersebut bisa memotivasi lebih banyak pejabat negara lainnya untuk melakukan hal serupa dan merapuhkan kesatuan NKRI. Kritikan bernada provokatif tersebut menurutnya perlu diselesaikan serius. Sarannya, DPR bisa memanggil Adil, demikian juga pemerintah pusat baik Mendagri maupun presiden perlu mengambil tindakan atas dasar hukum yang berlaku.