Kaleidoskop 2022: Tarif PPN Naik hingga Integrasi NIK Jadi NPWP

ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/wsj.
Ilustrasi. Implementasi UU HPP telah mendongkrak penerimaan pajak pada tahun ini mencapai target sebelum menutup buku.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
29/12/2022, 14.51 WIB

Kementerian Keuangan merombak sejumlah aturan terkait pajak sepanjang tahun ini sebagai bagian implementasi UU Harmonisasi Peraturan perpajakan (HPP). Berbagai perubahan yang diatur sempat menuai pro kontra, mulai dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% hingga integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi NPWP.

Senayan menyetujui UU Nomor 7 tahun 2021 tentang HPP pada awal Oktober tahun lalu. Beleid baru ini memuat perubahan beberapa aturan perpajakan yang beberapa berlaku tahun ini, termasuk memperkenalkan beberapa kebijakan pajak baru termasuk pajak karbon yang hingga kini nasibnya masih belum jelas.

  1. Perubahan Tarif PPN menjadi 11%

    UU HPP memandatkan tarif PPN untuk naik dari 10% menjadi 12% namun secara bertahap. Kenaikan menjadi 11% dimulai 1 April lalu dan dilanjutkan kenaikan menjadi 12% maksimal 2025. 

    "Ini memang mungkin menurut pandangan orang-orang ini tidak pas, tapi ini kan sudah kita lakukan melalui suatu kajian mendalam di kementerian keuangan," kata Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal dalam video podcast di youtube Ditjen Pajak, Kamis (29/12).

    Yon mengatakan kenaikan tarif ini untuk mendukung konsolidasi fiskal dan membantu mengembalikan defisit anggaran turun di bawah 3% mulai tahun depan. Di sisi lain, ruang kenaikan juga masih ada karena tarif 10% yang berlaku sebelumnya relatif jauh di bawah rata-rata tarif PPN di beberapa negara lain. 

    Melalui perubahan tarif tersebut, Yon memastikan dampaknya ke inflasi tidak akan besar, diperkirakan memberi andil sekitar 0,4%. Dampaknya tidak besar karena pengenaan PPN hanya menyasar sekitar 60% dari barang yang kena pajak, sisanya sekitar 40% barang pembentuk inflasi termasuk barang tidak kena PPN.

    Di sisi lain, kenaikan tarif sebesar 1% ini akan membantu pemerintah mendengarkan penerimaan negara. Pemerinta diperkirakan bisa meraup hingga Rp 60 triliun untuk tahun ini saja.

  2. NIK Menjadi NPWP

    Pemerintah juga mulai mengintegrasikan NIK dengan NPWP mulai tahun ini. Ditjen Pajak sudah memulai proses pemutakhiran data sejak 14 Juli lalu dan hingga 15 November lalu sebanyak 52,9 juta NIK sudah bisa digunakan sebagai NPWP. Meski demikian, implementasi penuh NIK menjadi NPWP baru akan dilakukan 1 januari 2024, artinya format NPWP lama 15 digit masih dapat digunakan hingga akhir tahun depan.

    "Ini cara kita untuk memudahkan wajib pajak. Kan orang kalau harus punya NIK dan NPWP banyak kartu di kantongnya. Kalau ini, kan cukup punya satu saja, NIK dan sudah menjawab semua kebutuhan perpajakannya," kata Yon.

    Meski demikian, ia kembali menegaskan bahwa integrasi NIK menjadi NPWP tidak serta merta membuat setiap pemilik NIK, termasuk bayi yang baru lahir, harus bayar pajak. Pengenaan pajak juga harus memperhatikan objeknya, yakni penghasilan yang diperoleh, itupun juga berlaku ketentuan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

  3.  PPS alias Tax Amensty Jilid II

    Pemerintah kembali menggelar program tax amnesty dengan nama berbeda, yakni Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Wajib pajak yang belum pernah membayar pajak baik yang belum ikut Tax Amnesty jilid pertama atau harta peroleh sampai 2015 maupun harta yang belum dilaporkan sejak 2016 sampai 2020 bisa ikut program ini.

    Program PPS berlangsung selama enam bulan hingga akhir Juni lalu. Melalui program ini, pemerintah berhasil mengantongi pembayaran PPh final Rp  61,1 triliun. Adapun total harta yang diungkapkan mencapai Rp 594,8 triliun dari 247,9 ribu wajib pajak.

    "Ini program yang cukup berhasil, alhamdulillah realisasinya cukup besar, kalau secara umum tidak menetapkan target spesifik, tapai kalau melihat lebih dari RP 61 triliun, dibandingkan tax amnesty yang cakupannya lebih luas dan periode pengungkapan yang lebih pendek, tentu PPS ini berhasil," kata Yon.

  4.  Pajak Karbon

    Implementasi pajak karbon semula akan meluncur 1 April tahun ini. Pemerintah sempat menundanya menjadi 1 Juli tetapi hingga saat ini  belum juga terlaksana. Jika mengutip UU HPP, pelaksanaan pajak karbon dimulai secara terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulai tahun ini hingga 2024, kemudian diperluas ke sektor lainnya mulai 2025. 

  5. Pajak Kripto dan Fintech 

    Pemerintah mulai memberlakukan pajak kripto dan fintech peer to peer lending mulai Mei 2022. Ketentuan pajak kripto diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68 2022. Atas penyerahan aset kripto dikenakan PPN 0,11% jika transaksi melalui pedagang fisik dan 0,22% melalui bukan pedagang fisik. Sementara penghasilan yang diterima penjual aset kripto, penyelenggara dan penambang dikenakan PPh final 0,1%.

    Adapun PPh atas pinjol tersebut dikenakan atas penghasilan bunga yang diperoleh pemberi pinjaman. Ketentuan PPh pinjol ini diatur dalam PMK nomor 69 2022. Penghasilan atas bunga yang diperoleh pemberi pinjaman akan dipotongan pajak penghasilan sebesar 15% untuk wajib pajak dalam negeri sementara wajib pajak luar negeri dikenakan tarif 20%

    Adapun penarikan pajak kripto dan fintech dimulai pada Juni 2022. Kementerian Keuangan mencatat, pajak kripto dan fintech telah menyumbang penerimaan negara mencapai Rp 411 miliar hingga November 2022. 

  6. Perubahan Lapisan Tarif PPh Orang Pribadi

UU HPP juga mengubah ketentuan terkait bracket alias lapisan tarif Pajak penghasilan (PPh) yang sudah berlaku terhitung tahun ini. Di dalam UU HPP terdapat lima lapisan tarif PPh orang pribadi, antara lain:

  • Penghasilan Rp 0-Rp 60 juta akan dikenakan tarif 5%
  • Penghasilan di atas Rp 60 juta - Rp 250 juta berlaku tarif 15%
  • Penghasilan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta berlaku tarif 25%
  • Penghasilan di atas Rp 500 juta - Rp 5 miliar berlaku tarif 30%
  • Penghasilan di atas Rp 5 miliar berlaku tarif 35%.

Dalam aturan PPh yang lama, tarif 5% hanya berlaku untuk penghasilan maksimal Rp 50 juta. Selain itu, dahulu belum ada lapisan tarif kelima, sehingga semua yang berpenghasilan di atas Rp 500 juta akan dikenakan tarif sama, yakni 30%.

Reporter: Abdul Azis Said