Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mempercepat pembahasan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) pada tahun ini. Namun, ekonom melihat kebijakan tersebut tidak akan serta merta mendongkrak penerimaan daerah, tetapi berisiko memperlebar kesenjangan sosial.
Rancangan peraturan terkait kebijakan ERP masuk dalam program di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) terkait pengendalian lalu lintas secara elektronik. Meski demikian, pembahasannya belum secara spesifik pasal per pasal amun baru paparan umum.
"Saya tidak dapat memastikan pertengahan atau akhir tahun. Yang jelas tahun ini,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo di Jakarta, Selasa (10/1).
Adapun usul Dishub DKI soal besaran tarif kisaran Rp 5 ribu hingga Rp 19 ribu menyesuaikan kategori dan jenis kendaraan. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mengurangi masalah kemacetan di Jakarta serta menekan produksi emisi CO2. Namun, beberapa kendaraan kemungkinan akan dikecualikan, seperti kendaraan listrik, hingga mobil ambulans dan pemadam kebakaran.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, kebijakan tersebut akan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta. Namun, dana yang diperoleh setiap pemda, termasuk Pemprov DKI Jakarta, tidak hanya berasal dari transfer dari APBN tetapi juga dari PAD berasal dari pungutan pajak dan retribusi daerah.
"Tapi, pemprov juga kan harus mengeluarkan anggaran lebih besar seperti untuk biaya teknologi, maintenance biaya operasi hingga pengawasan," kata Tauhid sata dihubungi, Rabu (11/1).
Di sisi lain, pengenaan tarif baru tersebut berarti akan menambah beban biaya yang ditanggung masyarakat. Tambahan beban tersebut akan memperburuk kesenjangan sosial karena masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan menjangkau jalan yang diberlakukan ERP.
Namun demikian, Pemprov Jakarta memastikan kesiapan sektor transportasi publik saat makin banyak meninggalkan kendaraan pribadinya karena pengenaan tarif tersebut.
Sebaliknya, Tauhid melihat kebijakan ini akan memberi dampak positif terhadap berkurangnya kemacetan di Jakarta yang secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap ekonomi dan bisnis. Konsumsi bahan bakar juga berkurang sehingga membantu menangani masalah lingkungan.