Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengenang kebijakannya untuk tidak memberlakukan lockdown atau mengunci pergerakan masyarakat saat awal pandemi COVID-19 melanda. Menurutnya, keputusan ini menghindarkan perekonomian Indonesia dari potensi pertumbuhan negatif hingga 17%.
“Saya putuskan tidak lockdown meskipun tekanannya lockdown. Dan ternyata tidak salah. Itu kalau diputuskan lockdown bisa kita minus 17% saat itu,” ungkap Jokowi dalam sambutannya saat menghadiri Perayaan Imlek Nasional 2023 di Jakarta, Minggu (29/1) seperti dikutip Antara.
Presiden menilai jika hal itu sampai terjadi, maka pemerintah akan kesulitan untuk mengembalikan posisi ekonomi Indonesia. “Sangat sulit karena minusnya sudah langsung jatuh seperti negara-negara di Eropa,” ungkapnya.
Jokowi menjelaskan bagaimana proses keputusan untuk tidak menerapkan lockdown pada masa awal pandemi dalam rapat kabinet. Ketika itu desakan yang ada cukup tinggi, karena banyak negara sudah menerapkan lockdown untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Bahkan, saat rapat kabinet itu, hampir 80 persen menteri mengusulkan melakukan lockdown. Begitu pula suara-suara yang berkembang di masyarakat. "Kita (pemerintah) masih jernih dan tenang menghitung kekuatan rakyat di bawah seperti apa," katanya.
Pemerintah pun langsung membuat estimasi mengenai kekuatan keuangan masyarakat, dan memperhitungkan berapa lama kemampuan mereka untuk bertahan.
Hitungan tersebut dibuat berdasarkan jumlah tabungan masyarakat di bank. "Kalau salah memutuskan, mungkin enggak ada dua minggu kita sudah rusuh saat itu karena tabungan kita lihat," jelas Jokowi.
Oleh karena itu, paparnya, di masa transisi menuju normal saat ini dengan kondisi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sudah dicabut pada akhir Desember 2022, Jokowi mengajak semua pihak untuk bergotong royong dan bekerja keras kembali untuk bangkit mengejar ketertinggalan.
Untuk diketahui, setelah mengumumkan dua pasien pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, Indonesia baru mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, yang diteken Presiden Jokowi pada 31 Maret 2020.
DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB pada 10 April 2020, dan diikuti beberapa provinsi lainnya. Selanjutnya, Pemerintah mengganti PSBB dengan kebijakan PPKM pada 11 Januari 2021.
Cerita serupa juga diungkapkan Jokowi saat Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 2023 pada Kamis (26/1) lalu.
Presiden Jokowi mengaku bersemedi selama tiga hari untuk memutuskan tidak menerapkan kebijakan lockdown dan menerbitkan kebijakan PSBB. Jokowi menyampaikan pertimbangan utama saat itu adalah kondisi masyarakat.
Jokowi menjelaskan saat itu pendapatan negara anjlok 12% setelah pandemi Covid-19 menyerang. Pada saat yang sama, belanja pemerintah meningkat hingga 16%. Artinya, ada defisit sekitar 4%.
Sebelumnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebut ekonomi Indonesia pada 2023 akan menjadi salah satu "titik terang" dunia, bersama India yang juga diperkirakan masih mampu tumbuh kuat. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu diperkirakan mencapai di atas 5% dengan pemulihan yang merata di semua sektor usaha.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2%. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sebesar 3,69%.
Pada 2023, pemerintah menargetkan ekonomi nasional akan tumbuh di kisaran 5,3 hingga 5.9%. Target tersebut disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) dalam penyusuan RKP 2023 pada Kamis (21/4/2022).