Kementerian Keuangan belum berencana meluncurkan kebijakan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik pada tahun ini. Pengamat menyarankan pemerintah segera meluncurkannya cukai minuman berpemanis sebelum memasuki tahun politik 2024.
"Sampai dengan saat ini belum ada rencana untuk hal tersebut (penerapan cukai MBDK tahun ini)," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani lewat pesan singkat, Selasa (7/2).
Askolani enggan menjelaskan alasan pemerintah tak kunjung memulai pengenaan cukai minuman berpemanis tersebut sekali pun telah jadi wacana sejak beberapa tahun terakhir. Pemerintah juga sudah memasang target penerimaan dari cukai produk plastik sebesar Rp 980 miliar dan cukai MBDK Rp 3,08 triliun dalam APBN 2023.
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, pemerintah seharusnya sudah mengimplementasikan cukai MBDK dan plastik pada awal tahun ini. Menurut dia, terlalu berisiko bagi pemerintah jika menerapkan aturan tersebut pada paruh kedua tahun ini mengingat terlalu dekat dengan Pemilu 2024.
"Secara politik, butuh keberanian lebih, kecuali pemerintah dapat mengemasnya menjadi sebuah kebijakan yang populis," kata Fajry, Jumat (13/1).
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) sebelumnya menyarankan penerapan cukai minuman berpemanis bisa meluncur tahun ini dengan besaran tarif mencapai 20%.
“Berdasarkan hasil studi elastisitas harga permintaan yang kami lakukan, kami mengestimasi penerapan cukai MBDK sebesar 20% akan menurunkan permintaan masyarakat rata-rata hingga 17,5%,” kata anggota tim peneliti CISDI Agus Widarjono, beberapa waktu lalu.
Riset elastisitas harga permintaan yang dibuat CISDI menunjukkan rata-rata besaran nilai elastisitas produk MBDK yang diteliti sebesar negatif 1,09. Artinya, setiap kenaikan rata-rata harga MBDK sebesar 1% akan diikuti penurunan permintaan produk rata-rata 1,09%.
CISDI menyarankan penerapan besaran cukai minuman berpemanis tersebut berdasarkan besaran volume dan kandungan gula pada produksi. Pengenaan dilakukan secara komprehensif, baik ke produk MBDK berpemanis gula maupun berpemanis buatan serta produk MBDK olahan dan siap saji.
Penarikan cukai terhadap minuman berpemanis tersebut bertujuan untuk mengendalikan konsumsi karena berefek buruk bagi kesehatan. Apalagi, CISDI menyebut konsumsinya telah meningkat 15 kali lipat dalam kurun waktu kurang dari dua dekade.
Pada 1996, konsumsi minuman berpemanis sekitar 51 juta liter, kemudian melonjak menjadi 78 juta liter pada 2014. Kenaikan tersebut melebihi penambahan jumlah populasi penduduk Indonesia pada periode yang sama hanya naik 0,3 kali lipat.
"Penerapan cukai MBDK akan menjaga masyarakat dari konsumsi MBDK berlebih dan mengurangi beban biaya kesehatan sebagai akibat obesitas dan PTM,” ujar Agus.