Bank Dunia: Krisis Perbankan di AS dan Eropa Tak Berdampak ke ASEAN
Kegagalan tiga bank di Amerika Serikat disusul masalah pada Credit Suisse dan Deutshce Bank memicu kekawatiran terjadinya krisis perbankan global. Namun, Bank Dunia menilai, permasalahan perbankan di kedua benua tersebut tak akan berdampak kepada ASEAN, termasuk Indonesia.
"Sejauh ini tantangan yang dihadapi perbankan di Amerika Serikat dan Eropa tidak berdampak ke ASEAN. Dari sisi bank dunia, kami terus memonitor dan memantau apa yang sebenarnya terjadi," ujar Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen di sela-sela High Level Seminar Innovative Strategy to Further Enhance Financial Inclusion di Nusa Dua, Bali, Selasa (28/3).
Ia mengatakan, hanya waktu yang akan menjelaskan apa yang sebenernya terjadi pada pasar finansial global dan bagaimana implikasinya terhadap Asia Timur dan ASEAN. "Pasar keuangan di ASEAN saya lihat sejauh ini tak memerlukan konsen," kata dia.
Meski demikian, menurut dia, Bank Dunia akan terus memantau permasalahan yang terjadi dan berharap tak kembali melihat krisis keuangan seperti 2008.
Kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate dan Signature bank dalam sepekan pada pekan kedua bulan ini menyebabkan kecemasan pasar. Kecemasan ini merembet ke Eropa dan berdampak pada bank sistemik global, Credit Suisse yang sudah memiliki masalah sejak lama. Credit Suisse saat ini dalam proses pengambialihan oleh pesaingnya, UBS.
Adapun terbaru, pasar cemas dengan kondisi Deutshce Bank. Sahamnya anjlok 8,5% pada akhir pekan lalu, Jumat (24/3).
Para pengamat menilai krisis perbankan saat ini berbeda dengan kondisi 15 tahun lalu karena perkembangan media sosial, digitalisasi perbankan, dan perubahan regulasi yang sangat besar. "Ini adalah krisis bank pertama dari generasi Twitter," ujar Paul Donovan, kepala ekonom di UBS Global Wealth Management ketika ditanya terkait kejatuhan Credit Suisse, seperti dikutip dari CNBC, Senin (27/3).
Direktur Pusat Risiko Sistemik di London School of Economics Jon Danielsson menjelaskan, media sosial memberikan lebih banyak ruang untuk penyebaran rumor yang merusak dibandingkan tahun 2008. “Meningkatnya penggunaan internet dan media sosial, perbankan digital dan sejenisnya. Semuanya bekerja untuk membuat sistem keuangan lebih rapuh daripada yang seharusnya,” kata Danielsson.
CEO Citi Jane Fraser menilai, media sosial tidak hanya memungkinkan rumor menyebar dengan lebih mudah, tetapi juga jauh lebih cepat. Sementara informasi menyebar dalam hitungan detik, uang sekarang dapat ditarik dengan cepat. Mobile banking telah mengubah perilaku fundamental pengguna bank yang dapat menyebabkan keruntuhan finansial.
“Ini benar-benar mengubah permainan. Ia mengatakan hanya dengan beberapa tweet, Silicon Valley Bank jatuh lebih cepat dibandingkan apa yang pernah terjadi dalam sejarah. Regulator menutup Silicon Valley Bank pada 10 Maret, keruntuhan bank terbesar di AS sejak krisis keuangan global pada 2008.
Kepala Kebijakan Pajak dan Kebijakan Perdagangan di Institut Studi Keuangan IFF Universitas St. Gallen Stefan Legge mengatakan, kombinasi penyebaran informasi yang cepat dan akses ke dana ini dapat membuat bank lebih rentan. "Dulu, pemandangan orang-orang yang mengantri di depan cabang bank menyebabkan kepanikan, hari ini kita memiliki media sosial ... Bisa dibilang, bank runs bisa terjadi lebih cepat hari ini," kata Legge kepada CNBC melalui email.