Tren dedolarisasi alias mengurangi penggunaan dolar AS untuk perdagangan dan investasi ramai belakangan ini setelah kelompok negara BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan ingin membuat mata uang tandingan. Indonesia belakangan juga gencar mengajak negara Asia Tenggara untuk transaksi dengan mata uang lokal, upaya untuk mulai meninggalkan dolar AS.
Kabar dedolarisasi sebetulnya bukan wacana baru, tetapi kembali ramai setelah Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Serikat yang tergabung dalam aliansi BRICS dikabarkan akan merilis mata uang tandingan euro dan dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut, upaya dedolarisais didorong sejumlah faktor, salah satunya geopolitik. Perubahan hubungan geopolitik global, termasuk sejak perang Ukraina mendorong diversifikasi penggunaan mata uang untuk perdagangan dan investasi internasional.
Selain itu, kemunculan sejumlah kekuatan ekonomi baru di luar AS dan Eropa juga menjadi faktor lainnya. "Sejak menjadi anchor currency tahun 1944, sudah banyak dinamika yang berbeda sampai saat ini, sehinhga mendorong ke arah multipolaritas dengan memakai masing-masing mata uang untuk transaksi. Tahun 1944 memang ekonomi AS masih dominan, tetapi sekarang kan sudah banyak kekuatan baru," ujarnya, Selasa (11/4).
Alasan lainnya, menurut dia, banyak negara kemudian belajar dari efek kebijakan fiskal dan moneter di AS belakangan ini. Ketergantungan tinggi terhadap dolar AS membuat volatilitas mata uang negara berkembang dan emerging market, termasuk Indonesia, meningkat belakangan ini imbas perubahan kebijakan moneter AS.
Tren kenaikan suku bunga The Fed yang agresif sejak tahun lalu memicu mata uang di kawasan berguguran. David menyebut, hal ini seiring perdagangan dan investasj yang masih mengandalkan dolar AS.
Di sisi lain, David menyebut upaya dedolarisasi juga didorong kekhawatiran bahwa nilai aset dolar AS akan menyusut karena kebijakan moneter longgar The Fed. Selama pandemi, bank sentral AS itu gencar mencetak uang lewat kebijakan quantitative easing (QE) besar-besaran.
"Ada kekhawatiran terhadap nilai dari dolar itu sendiri akan menurun jika kebijakan moneter dan fiskal AS tidak prudent," kata David.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky menyebut, aksi dedolairsasi menguntungkan dari sisi adanya hedging atau berkurangnya risiko dari dolar AS. Seperti dikatakan David sebelumnya, ketergantungan tinggi terhadap dolar AS menimbulkan efek buruk dari sisi volatilitas mata uang negara dunia tiap kali AS merubah kebijakan fiskal dan moneternya.
"Namun ruginya sebetulnya bukan hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk semua negara bahwa belum ada unit of account yang diterima seluas dolar AS ini," kata Riefky.
Namun, Riefky belum melihat upaya dedolarisasi akan terjadi signifikan dalam waktu dekat. Penggunaan dolar AS kemungkinan akan berkurang secara gradual terutama didorong adanya kerja sama regional untuk perdagangan dan investasi dengan mata uang lokal.
Upaya Indonesia Mengurangi Dominasi Dolar AS
Bukan hanya BRICS, Indoensia juga ingin mengurangi ketergantungan pada satu mata uang tertentu untuk menjaga stabilitas rupiah. Upaya yang dilakukan lewat kerja sama regional untuk penggunaan mata uang lokal untuk penyelesaian transaksi perdagangan, investasi hingga pembayaran lintas negara yang disebut Local Currency Transaction atau LCT yang digagas Bank Indonesia.
Indonesia memiliki kerja sama transaksi mata uang lokal dengan Thailand, Malaysia, Cina dan Jepang. Melalui kerja sama ini, transaksi dengan empat negara itu bisa diselesiakan tanpa perlu lagi konversi ke dolar AS.
BI mencatat, transaksi menggunakan skema LCT dengan Cina dan Jepang masing-masing sudah mendekati US$ 2 miliar dari total perdagangan ke negara itu pada tahun lalu. Sekitar 4% dari total perdagangan dengan Malaysia dan 3% dengan Thailand tahun lalu sudah memakai mata uang lokal.
Kerja sama serupa akan diperluas dengan negara lain, terutama Korea Selatan yang sedang tahap akhir dan menyusul India. Kerja sama LCT dengan Korsel dan India akan lebih dulu diterapkan untuk memfasilitasi transaksi berupa pembayaran lintas negara atau cross border payment.
Agenda perluasan LCT ini juga disisipkan dalam keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut diverisifikasi mata uang merupakan salah satu agenda penting.
Perry menyebut tantangan saat ini adalah ketergantungan yang besar terhadap mata uang utama seperti dolar AS menimbukkan risiko dan kerentanan terhadap stabilitas keuangan di ASEAN. Karena itu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN pada pertemuan akhir Maret lalu sepakat membentuk kerangka kerja sama penguatan guideline LCT.
"Kita akan membentuk gugus tugas LCT untuk memperkuat dan fokus mendiskusikan terkait kerangka kerja sama LCT di ASEAN dan memperkuat guideline kerja sama LCT yang sudah ada saat ini," kata Perry dalam konferensi pers usai pertemuan pertama menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN di Bali, 31 Maret 2023.