Pemerintah Pantau Risiko Gagal Bayar Utang AS Terhadap Ekonomi RI

Unsplash
ilustrasi persoalan utang Amerika.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
5/5/2023, 16.34 WIB

Pemerintah memantau perkembangan risiko gagal bayar utang atau default Amerika Serikat di tengah drama soal plafon utang yang tak kunjung mencapai kesepakatan. Kementerian Keuangan sebelumnya mengaku risiko gagal bayar itu belum punya dampak berarti ke pasar obligasi pemerintah.

Kongres masih belum mencapai kesepakatan soal plafon utang AS. Negara ekonomi terbesar itu terancam kehabisan dana pada awal bulan depan jika plafon utang tak dinaikkan. Salah satu dampaknya, pemerintah berisiko gagal bayar utang alias default.

Plt Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko global masih menjadi perhatian pemerintah terkait tantangan ekonomi Indonesia ke depan. Berbagai risiko tersebut termasuk soal dinamika utang AS.

"Kami lihat sekarang nilai tukar dan IHSG masih bagus, tapi tetap itu jadi perhatian kita sebagai salah satu faktor risiko, karena secara historis itu akan ada dinamika dan ada efeknya," kata Ferry ditemui di kantornya, Jumat (5/5).

Kementerian Keuangan sebelumnya memastikan isu utang AS tersebut tidak memiliki dampak yang berarti ke pasar surat utang pemerintah Indonesia. Terlepas dari masih alotnya pembahasan di Kongres.

"Isu pagu utang AS sejauh ini tidak mempengaruhi pasar keuangan AS maupun pasar keuangan global, sehingga tidak mempunyai dampak berarti terhadap pasar surat berharga negara (SBN) Indonesia," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto, Rabu (3/5).

Terlepas dari masih alotnya pembahasan di Kongres AS, Suminto melihat masalah plafon utang pemerintah AS sebetulnya isu klasik yang pada kasus-kasus sebelumnya selalu tercapai kesepakatan, yakni menaikan utang. Otoritas AS pasti akan mempertimbangkan perlunya membiayai fiskal, termasuk membayar utang.

Kinerja pasar SBN domestik saat ini juga masih sangat baik. Aliran masuk investor asing ke pasar SBN mencapai Rp 60,5 triliun sejak awal tahun sampai dengan 2 Mei. Suminto juga menyebut persepsi risiko persepsi risiko membaik ditandai dengan credit default swap alias CDS untuk tenor lima tahun yang turun.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, risiko default pemerintah AS umumnya memberikan sentimen negatif ke pasar keuangan global. Pasar khawatir karena surat utang pemerintah AS alias US Treasury selama ini sudah terkenal sebagai aset paling aman akan menjadi kejutan di pasar.

Josua menilai risiko default tersebut akan mix terhadap pasar keuangan domestik dengan kecenderungan positif. Alasannya, menurut dia, kondisi fundamental pasar obligasi pemerintah Indonesia sangat mendukung terjadinya inflow atau aliran masuk.

"Sejauh ini kecenderungannya akan bias positif untuk Indonesia karena kondisi utang dan fundamental ekonomi kita jauh lebih baik dibandingkan sebagian besar negara maju termasuk Amerika Serikat," kata Josua, Jumat (28/4).

Seperti halnya Suminto, ia juga tak begitu risau lantaran risiko default ini sangat kecil. Kebuntuan yang terjadi di pemerintahan AS soal plafon utang, kata dia, pada akhirnya akan menemui keputusan akhir seperti periode-periode sebelumnya.

Perdebatan soal plafon utang juga sempat terjadi pada 2021. Namun, Kongres AS pada akhirnya tetap setuju untuk menaikkan batas utang sekalipun memang sempat ada 'drama' di Kongres AS.

Reporter: Abdul Azis Said