Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan Indonesia berhasil lepas dari pandemi Covid-19 dengan baik. Hal itu dilihat dari sejumlah indikator, mulai dari penanganan kesehatan hingga ekonomi. Di tingkat global, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah mencabut status kedaruratan Covid-19 pada 5 Mei lalu.
Berbagai kebijakan pemerintah telah membawa Indonesia pulih relatif cepat dibandingkan sejumlah negara lain. “Pandemi kita atasi, kematian relatif kecil, kesiapan juga kita bangun, dan ekonomi pulih secara cepat dan sustainable,” kata Sri Mulyani dalam wawancara khusus dengan Katadata di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (12/5).
Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, kebijakan “gas-rem” yang diputuskan Presiden Joko Widodo merupakan langkah jitu dalam menangani pandemi. Dan hasil strategi ini pun dinilai sejumlah negara, termasuk WHO, sebagai langkah yang sukses mengelola dampak buruk pagebluk Covid-19.
“Presiden Jokowi melaksanakan gas-rem, dari PSBB sampai PPKM secara regional, nasional, provinsi, pulau, sampai kelurahan. Itu suatu khas Indonesia yang luar biasa,” ujar Sri Mulyani. PSBB yang ia maksud yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar, sementara PPKM yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang sudah dihentikan pada Desember 2022.
Strategi Indonesia memang berbeda dengana beberapa negara maju yang relatif lebih longgar saat gelombang Covid-19 menerjang dunia. Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, tidak ketat dalam mewajibkan pemakaian masker. Walaupun setelah itu vaksisnasi dilakukan secara gencar, tingkat kematian di sana cukup besar.
Namun karena mobilitas masyarakat di tahun kedua pandemi tidak terlalu ketat, roda ekonomi cepat bergerak. “Ekonomi negara maju Amerika, Eropa, recovery-nya tahun 2021, tinggi sekali di semester kedua,” kata Sri Mulyani.
Langkah sebaliknya diambil Cina yang mempunyai target nol kasus. Kebijakan diterapkan dengan karantina total. Akibatnya laju ekonomi tertekan. “Jadi rakyatnya aman, tapi ekonominya berhenti. Begitu dibuka outbreak dan menjadi sangat menegangkan,” ujar dia. “Artinya setiap metodologi punya konsekuensi.”
Walau melakukan gas-rem, kondisi sosial Indonesia selama pandemi juga begitu tegang. Menurut Sri Mulyani, perlu terobosan-terobosan baru dan berani dalam membuat kebijakan di sektor kesehatan dan keuangan.
Salah satu kebijakan yang sangat krusial di awal Covid-19 menerjang negeri ini yaitu memastikan anggaran penanganan pandemi yang sangat besar mesti tersedia. Karenanya, menurut bendahara negara ini, game cahnger pertama ketika itu yakni langkah berani membongkar undang-undang keuangan negara melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020.
Perppu ini tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Di dalam aturan inilah muncul klausul yang membolehkan defisit anggaran negara di APBN bisa melampaui 3 persen terhadap PDB menjadi 6 persen.
Bagi Sri Mulyani, langkah ini merupakan keberanian luar biasa. Sebab, Undang-Undang Keuangan Negara yang menjadi pilar kredibilitas kebijakan makro Indonesia dianggap sudah stabil dengan tidak pernah melewati defisit anggaran lebih dari 3 persen.
“Kalau Anda sudah punya fondasi stabil dan sekarang berani membuka kotak pandora, itu gemetar. Yang membuka kotaknya gemetar, yang melihat juga ikut grogi,” ujar Sri Mulyani.
Bagaimana kisah pergulatan Sri Mulyani yang sempat diganjar sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Dunia versi World Government Summit ini? Ikuti perbincangan lengkapnya dalam wawancara khusus Katadata.