Nilai tukar rupiah melemah 0,15% ke level 15.305 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot pagi ini. Pergerakan rupiah pada akhir pekan ini dibayangi kekhawatiran krisis properti di Cina dan potensi pengetatan moneter lebih lanjut di Amerika Serikat.
Kurs rupiah terkoreksi pagi ini bersama rupee India 0,24% saat mayoritas mata uang regional justru menguat. Yen Jepang dan dolar Singapura menguat 0,21% bersama dolar Hong Kong 0,05%, peso Filipina 0,47%, won Korsel 0,45%, dolar Taiwan 0,2%, baht Thailand 0,32%, ringgit Malaysia 0,26% dan yuan Cina 0,15%.
Rupiah berisiko kembali melemah hari ini setelah sinyal hawkish dari dokumen pertemuan bank sentral AS yang rilis Kamis dini hari. Analis pasar uang Lukman Leong memperkirakan kurs garuda melemah dengan bergerak di rentang 15.250-15.400 per dolar AS.
Rupiah tertekan oleh sinyal hawkish The Fed. Dalam risalah rapat bank sentral bulan lalu yang dirilis Kamis dini hari menunjukkan mayoritas anggota komite pembuat kebijakan mengkhawatirkan risiko tekanan inflasi masih akan berlanjut sehingga memerlukan pengetatan moneter lebih lanjut.
"Kekhawatiran perlambatan ekonomi di Cina juga masih menekan rupiah dengan perkembangan terakhir Evergrande yang mengajukan pailit," kata Lukman dalam catatannya pagi ini.
Krisis properti di Cina kembali menjadi perhatian setelah Evergrande, raksasa properti yang memiliki utang segunung, diketahui mengajukan perlindungan di bawah Bab 15 dari UU kebangkrutan AS sebagaimana dikutip dari Reuters. Bab tersebut akan melindungi perusahaan non-AS yang menjalani restrukturisasi dari kreditur yang berharap untuk menuntut mereka atau mengikat aset di Amerika Serikat.
Tak senada, analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah berpeluang menguat seiring tren apresiasi mata uang regional. Ia memperkirakan rupiah menguat ke arah 15.230-15.200, dengan potensi resistance di kisaran 15.300 per dolar AS.
"Stimulus dari Cina seperti pemangkasan suku bunga dari bank sentral Cina dan potensi stimulus fiskal dari pemerintah mungkin membanti mengurangi kecemasan pasar terhadap perlambatan ekonomi di Cina yang bisa menekan perekonomian global," kata Ariston dalam catatannya.
Di sisi lain, faktor yang berpotensi memberikan tekanan ke rupiah yaitu data ekonomi AS yang membaik. Data aktivitas manufaktur di wilayah Philadelphia untuk bulan Juli yang rilis semalam menunjukan pertumbuhan dibandingkan sebelumnya yang berkontraksi. Hal ini membuka peluang The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama sehingga bisa memicu penguatan dolar AS.
Isu pelambatan ekonomi Cina juga bisa berdampak negatif ke perekonomian global termasuk Indonesia. Kekhawatiran ini pun bisa menekan rupiah di akhir pekan.