Indonesia membutuhkan investasi hingga ribuan triliun rupiah untuk mencapai target pengurangan emisi karbon untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Kebutuhan dana untuk mencapai target penurunan emisi karbon pada 2030 sesuai dengan komitmen terbaru pemerintah dalam bentuk nationally determined contributions atau NDC mencapai US$ 281 miliar atau setara Rp 4.300 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.300 per dolar AS.
"Kami menyadari bahwa masih diperlukan lebih banyak upaya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam mencapai NDC kami agar dapat memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca global” ujar Febrio dalam Asean Matters: Epicentrum of Growth, Jakarta, Rabu (23/8).
Ia menjelaskan, pemerintah telah mengucurkan anggaran mencapai US$ 20 miliar atau setara Rp 285 triliun hingga 2021 untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Namun, anggaran yang dikucurkan tersebut baru mencapai 8% dari total kebutuhan dana untuk mencapai target NDC sebesar US$ 281 miliar pada 2030.
NDC adalah komitmen negara-negara yang terlibat dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi karbon dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Komitmen ini umumnya diperbarui lima tahun sekali. Adapun dana sebesar US$ 281 miliar dibutuhkan untuk mencapai target terbaru NDC, yakni menurunkan emisi karbon menjadi 1.953 MTon CO2e dengan usaha sendiri, atau menjadi 1.632 MTon CO2e dengan bantuan internasional pada 2030.
Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia terbuka pada investor yang ingin berinvestasi di sektor energi terbarukan maupun upaya lain untuk mengatasi perubahan iklim. Ini karena masalah perubahan iklim tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah saja.
Febrio juga menjelaskan bahwa saat ini, platform mekanisme transisi energi atau energy transition mechanism (ETM) yang didiesain Indonesia untuk mendorong transisi energi telah menerima pinjaman pendanaan sebesar US$ 500 juta dari Climate Investment Fund dan US$ 4 miliar dari bank dunia ADB.
“Pendanaan ini sangat lunak untuk Indonesia. Ini akan dimanfaatkan hingga tambahan 4 miliar dolar AS oleh Bank Dunia ADB.. serta pendanaan lainnya termasuk pemerintah Indonesia,” kata Febrio.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyebut, sektor energi menjadi salah satu bagian terbesar dari pembiayaan untuk mengurangi gas emisi rumah kaca. Ini terutama karena 60% sumber energi listrik di Indonesia masih berasal dari energi fosil, terutama batu bara. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU.
"Ini tidak mudah karena kita bukan hanya sekadar mengubah pembangkit. Rata-rata mereka memiliki kontrak jangka panjang sehingga harus ada kompensasi. Ini belum bermasuk dampak sosial ekonomi yang juga harus dihitung," katanya.
Tak hanya perlu mempensiunkan pembangkit fosil, menurut dia, pemerintah perlu memenuhi kenaikan permintaan energi memalui pembangunan pembangkit energi terbarukan. "Jadi untuk negara besar seperti Indonesia, kita membutuhkan dua investasi yang sangat penting. Menghentikan batu bara membutuhkan uang dan membangun energi terbarukan juga membutuhkan investasi," kata dia.