Sri Mulyani Ungkap Peluang Besar RI Raup Untung dari Industri Halal
Indonesia memiliki peluang besar meraup untung dari berkembangnya industri halal global. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap, ada sejumlah tantangan yang dihadapi sektor ini, termasuk soal pendanaan.
Sri Mulyani menyebutkan potensi industri halal yang dapat memberi tambahan ke PDB Indonesia sebesar US$ 5,1 miliar per tahun berdasarkan laporan Indonesia Halap Markets Report 2021/2022. Potensi ini melalui pertumbuhan ekspor produk halal, aliran masuk investasi asing langsung atau FDI, dan substitusi impor.
Ia mengatakan, potensi besar tersebut juga didukung oleh demografi penduduk Indonesia yang sebagian besar merupakan muslim. Namun, peluang besar itu tidak hanya berasal dari konsumsi muslim, tetapi juga nonmuslim.
"Popularitas produk halal dan meningkatnya permintaan terhadap produk halal bahkan meningkat dari konsumen non muslim karena semakin banyak konsumen yang mencari produk berkualitas tinggi, aman, dan terutama produk beretika yang penting, yang tertanam dalam sifat dan nilai Halal," kata Sri Mulyani dalam acara Konferensi Tahunan Keuangan Islam ke-7, Selasa (29/8).
Peluang itu juga seiring pasar produk halal di level global yang cukup besar. Riset memperkirakan belanja produk halal dunia bisa mencapai US$ 3 triliun pada 2025 dan meningkat mencapai US$ 4,9 triliu pada akhir dekade ini.
Sri Mulyani mengatakan, Indonesia saat ini mempunyai peringkat yang cukup baik secara global. Indonesia peringkat kedua untuk kategori makanan dan minuman halal, peringkat ketiga secara global dalam bidang fesyen dan peringkat keenam dalam bidang keuangan syariah.
"Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia memproduksi atau mengembangkan pasar produk Halal. Kami melihat potensi yang kuat dan ini merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, Sri Mulyani menyebut industri halal global memiliki sejumlah tantangan. Beberapa diantaranya fragmentasi lembaga halal, kurangnya standarisasi sertifikasi, kurangnya pengetahuan auditor terkait produk halal, kepatuhan terhadap standar syariah, rendahnya literasi terkait produk halal, kurangnya penelitian dan pengembangan, tidak adanya lembaga sertifikasi internasional dan kurangnya pendanaan halal.