Lambat Buat Keputusan, ASEAN Bisa Kehilangan Potensi Ekonomi US$ 2 T
Lembaga think tank di Asia Tenggara, CARI ASEAN, menilai kawasan ini perlu mempercepat proses pengambilan keputusan bisnis untuk merealisasikan potensi ekonomi hingga US$ 2 triliun atau lebih dari Rp 30 kuadriliun pada 2030.
Ketua Umum CARI ASEAN Research and Advocacy Munir Majid menyampaikan seharusnya para menteri ekonomi di ASEAN akan menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Ekonomi Digital ASEAN dalam waktu dekat.
Perjanjian tersebut melingkupi sembilan fokus area kerja terkait ekonomi digital di negara-negara anggota ASEAN. "Peluangnya bagus, tapi kita harus membuat keputusan terkait hal tersebut," kata Munir dalam ASEAN Investment Forum 2023, Minggu (3/9).
Munir menilai proses pembuatan keputusan ASEAN saat ini sangat lambat. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya proses pembuatan keputusan yang terdesentralisasi. Menurutnya, hal tersebut kontraproduktif dalam situasi mendesak seperti penanganan Pandemi Covid-19.
Munir mengkritik pimpinan ASEAN yang tidak bersatu untuk mengadakan vaksin di ASEAN saat itu. Alhasil, setiap negara harus melakukan program pengadaan vaksin secara mandiri.
Munir mengaku telah mengajukan pembuatan Komisi Tingkat Tinggi yang dapat membuat keputusan dalam situasi darurat. Secara sederhana, Munir mendorong agar ASEAN membuat sebuah badan yang bertugas untuk memutuskan hal-hal prioritas setiap enam bulan sekali.
Dengan demikian, Munir menilai proses pengambilan keputusan oleh pimpinan ASEAN dapat lebih cepat. Namun, menurutnya, proposal tersebut tidak diindahkan oleh pemangku kepentingan ASEAN.
Di sisi lain, Munir mengatakan ASEAN dapat menjadi pusat produsen mobil listrik atau EV di dunia. Menurutnya, semua negara anggota ASEAN dapat berkontribusi menjadi bagian dari rantai pasok EV.
Munir berpendapat negara dengan kondisi geografis yang tidak baik terkait EV seperti Brunei Darussalam dapat menjadi pusat pelatihan terkait produksi EV. Sementara itu, Indonesia dan Filipina yang memiliki cadangan nikel dapat melakukan pemrosesan secara mandiri.
Oleh karena itu, Munir mengajukan agar ASEAN harus menciptakan kerangka kerja terkait produksi dan distribusi energi hijau di kawasan. "Kita sangat defensif terkait pembahasan energi hijau. Setiap negara ada rencana energi hijau, tetapi menurut saya secara regional harus ada pembicaraan terkait produksi energi hijau," ujar Munir
Munir mencontohkan potensi produksi energi hijau di Indonesia. Menurutnya, Indonesia baru memanfaatkan energi hijau sebanyak 0,01 gigawatt (GW) dari potensi sebesar 3,6 GW.
"Jadi, banyak kapasitas untuk memproduksi energi hijau di ASEAN. Kita harus bekerja sama untuk membuatnya. Kita harus bekerja sama terkait produksi dan distribusi energi hijau," ujarnya.