Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa perdagangan bursa karbon untuk pertama kalinya akan dimulai pada 26 September 2023. Terkait penerapan pajak karbon, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu mengatakan saat ini belum diperlukan.
Febrio menuturkan, alasan pajak karbon belum diperlukan karena peta jalan atau roadmap-nya masih disiapkan. Dia mengatakan, pihaknya juga belum bisa memastikan waktu yang pas untuk diterbitkannya roadmap pajak karbon.
“Tidak harus ada pajak karbon. Kita tidak butuh pajak karbon saat ini, karena kita melihat potensi pasar karbon itu sektor demi sektor sangat menjanjikan,” ujar Febrio saat ditemui di sela acara The 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition, di Jakarta, Rabu (20/9).
Menurut Febrio, adanya potensi pasar karbon yang diprediksi akan sangat menguntungkan dan menjanjikan, maka saat ini penerapan pajak karbon terutama pada pasar karbon di sektor kehutanan belum diperlukan.
“Memang untuk pasar karbon itu tidak membutuhkan pajak karbon, maka tidak perlu ada pajak karbon. Harapan kedepannya, pasar karbon bisa jalan dulu. Sementara pajak karbonnya harus dilihat dari konteks roadmap,” kata dia.
Dia mengatakan, tujuan dari adanya pembentukan roadmap pajak karbon tersebut yaitu, agar tidak mendisrupsi aspek-aspek lainya yang masih berkaitan dengan penerapan pasar karbon di Indonesia.
“Pajak karbon kita siapkan roadmap-nya, sektor mana yang kita harapkan suatu saat kita terapkan itu tidak terdisrupsi, pertumbuhan ekonominya tidak terganggu, inflasi tidak naik, dan lapangan kerja tidak terganggu. Itu yang kita siapkan, jadi pasar karbon yang sekarang tidak butuh pajak karbon,” kata Febrio.
Di sisi lain, dia menjelaskan bahwa harga pajak karbon nantinya akan ditentukan oleh mekanisme pasar melalui aspek permintaan dan penawaran. Oleh sebab itu, mekanisme pasar tersebut yang akan menggambarkan bagaimana minat global untuk ikut berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Ia ingin dampak positif instrumen ini bisa dicapai namun pada saat yang sama pihaknya juga memperhatikan aspek negatifnya.
Meski demikian, ia tak secara gamblang merinci dampak negatif apa saja yang timbul dari pajak karbon, “Kita ingin perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan dan stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi," ujar Sri Mulyani, Selasa (6/6).
Instrumen baru ini semula dijadwalkan meluncur pada awal April tahun lalu. Rencana itu kemudian molor tiga bulan hingga direncanakan baru berlaku pada awal Juli. Saat itu, Kemenkeu beralasan masih perlu harmonisasi aturan dan mempertimbangkan pemulihan ekonomi.
Namun, rencana penerapan awal Juli pun kembali batal. Alasannya masih sama, pemerintah masih perlu mematangkan aturan dan menyelaraskannya dengan skema pasar karbon. Meski tertunda untuk kedua kalinya, Kemenkeu saat itu tetap ingin penerapannya dilakukan pada 2022 dan 'dipamerkan' pada KTT G20 2022.
Mengutip UU 7 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 13 ayat (2), implementasi pajak karbon akan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau pasar karbon.
Peta jalan pajak karbon memuat empat aspek, yakni strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, memperhatikan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan.
Beleid itu juga merincikan roadmap penerapan pajak karbon. Tahun 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon. Tahun 2022-2024, penerapan pajak karbon sesuai skema cap and tax secara terbatas pada PLTU batu bara. Pada 2025, penerapan pajak karbon untuk sektor lainnya.