Sri Mulyani dan Bos BI Waspadai Dampak Pelambatan Ekonomi Cina

ANTARA FOTO/REUTERS/Tingshu Wang/nz/dj
Warga Cina di wilayah Financial Street di Beijing, China, Kamis (16/7/2020).
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Yuliawati
22/9/2023, 12.32 WIB

Pemerintah dan Bank Indonesia mewaspadai perekonomian Cina yang melambat. Perlambatan ekonomi Cina ini meningkatkan risiko ketidakpastian ekonomi global dan Indonesia.

Negara tirai bambu tersebut merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perekonomian Cina yang melambat bakal berdampak pada pergerakan ekonomi dalam negeri.

“Hal ini tentu saja akan mempengaruhi prospek ekonomi global yang secara tidak langsung akan berdampak pada perekonomian Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna pengesahan RUU APBN 2024, Kamis (21/9).

Reuters melaporkan ekspor Cina mengalami penurunan 9,2% pada Agustus dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Sebelumnya, data ekspor pada Juli turun 14,5% dibanding tahun sebelumnya (year on year).

Berdasarkan catatan BI, pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan tetap sebesar 2,7% dengan kecenderungan ekonomi Cina yang melambat dan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang semakin kuat.

Perlambatan ekonomi Tiongkok disebabkan oleh pelemahan permintaan domestik karena keyakinan konsumen, utang rumah tangga, dan permasalahan sektor properti, di tengah penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi global.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai kondisi perekonomian Cina. Ia melihat pengaruh perlambatan ekonomi Cina yang dipicu oleh sektor properti yang anjlok turut berdampak pada kinerja ekspor Tanah Air.

"Ekspor kita meningkat tapi tidak sekuat sebelumnya, tidak hanya global tapi juga dampak pelemahan ekonomi Tiongkok," kata Perry dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (21/9).

Perry juga mengatakan pelemahan ekonomi Cina juga merupakan imbas dari ekspor ke AS yang melemah dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tidak sekuat ekspektasi awal. Kondisi ini berkebalikan dengan ekonomi Amerika.

Kuatnya ekonomi Amerika didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings). Inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak.

Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Akibatnya, tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia.

Namun Perry tetap optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik ditopang oleh permintaan domestik. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh kuat sejalan dengan keyakinan masyarakat yang masih tinggi, termasuk generasi muda yang meningkatkan konsumsi jasa.

“Kinerja investasi tetap baik sejalan dengan berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional. Ekspor melambat seiring pelemahan permintaan global dan turunnya harga komoditas, di tengah ekspor jasa yang cukup kuat,” katanya.

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh beberapa lapangan usaha sektor jasa, seperti perdagangan besar dan eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum.

Reporter: Zahwa Madjid