Pengusaha Belum Siap, Apindo: Jangan Buru-buru Terapkan Pajak Karbon

123RF
Ilustrasi emisi karbon.
Penulis: Nadya Zahira
27/9/2023, 18.12 WIB

Pemerintah masih mematangkan peraturan pajak karbon meski sudah meluncurkan perdagangan karbon pada Selasa (26/9). Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan saat ini baru industri batu bara yang siap dikenakan pajak karbon.

Shinta mengatakan, penerapan pajak karbon akan membebankan para pelaku usaha yang tertarik dalam perdagangan bursa karbon, karena akan meningkatkan biaya. Selain itu, ada beberapa perusahaan kecil yang ingin berkecimpung.

Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah untuk tidak buru-buru dalam menerapkan pajak bursa karbon tersebut. Menurut dia, sebelum pajak tersebut diterapkan tentu dibutuhkan roadmap (peta jalan), sehingga perlu adanya analisa terlebih dahulu.

“Penerapan pajak ini kan penuh roadmap, dan kita mesti menganalisa. Jadi bisa dibilang banyak industri yang belum siap untuk dikenakan pajak karbon karena itu kan masuk ke dalam cost juga pada akhirnya, jadi ini perlu waktu,” ujarnya dalam acara Bloomberg Technoz Ecofest di Jakarta, Rabu (27/9).

Dengan begitu, dia mengatakan pemerintah harus mendorong pelaku usaha kecil untuk bisa turut berpartisipasi dalam perdagangan bursa karbon, jangan hanya mementingkan pelaku usaha besar saja. Pasalnya, perekonomian di Indonesia bukan hanya diikuti oleh korporasi besar, namun di dalamnya juga terdapat UMKM.

“Enggak usah ngomongin soal karbon, kita mau ngomongin soal going ke ekonomi yang hijau saja, ini kan sesuatu yang harus jadi perhatian kita, maka pelaku usaha kecil juga harus dibantu,” ujarnya.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, aturan pajak karbon akan digodok untuk mengantisipasi Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan (CBAM) yang akan diterapkan Uni Eropa (EU) mulai 2026.

“Regulasinya akan dilengkapi, salah satunya karena Eropa akan menerapkan CBAM pada 2026. Tahun 2024 mereka akan sosialisasi, artinya industri kita harus siap untuk menjadi basis energi hijau dan menjadi industri bersih—dan itu perlu ada investasi,” ujarnya, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/9).

Ia menjelaskan, pemberlakuan pajak karbon akan menjadi langkah untuk mengurangi emisi karbon. Selain pajak karbon, pemerintah juga telah secara resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia guna memacu pemenuhan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Pemerintah mematok target NDC sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri atau 43,20% dengan bantuan internasional.

“Pajak karbon itu ada dua, satu yang sifatnya sukarela dan satu lagi adalah kewajiban terkait. Yang sukarela tadi baru diluncurkan Bapak Presiden melalui bursa karbon, sementara pajak karbon itu hanya melengkapi jadi kalau tidak diperdagangkan di dalam bursa baru dicarikan melalui pajak karbon,” kata Airlangga.

Dia mengimbau agar perusahaan-perusahaan yang industrinya menghasilkan emisi karbon turut berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi di Indonesia, baik melalui bursa maupun pajak karbon.

“Kalau produknya diekspor akan dikenakan pajak karbon di negara lain, daripada dikenakan di negara lain kan mending di dalam negeri,” ujarnya.

Aturan Pajak Karbon tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) bukan pajak atas setiap emisi karbon yang dikeluarkan oleh badan usaha.

Badan usaha memiliki dua pilihan bila usahanya mengeluarkan emisi karbon lebih besar dari standar yang telah ditetapkan dalam sektornya, yaitu melakukan pembayaran pajak karbon kepada negara atau mencari carbon converter di pasar karbon.

Indonesia berpotensi memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon dengan sumber daya hutan tropis yang mencapai 125 juta hektare (Ha), terbesar ketiga di dunia.

Reporter: Nadya Zahira