Rupiah Lesu ke 15.872 meski Suku Bunga Naik, Sentimen Global Memburuk

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Lavinda
20/10/2023, 18.45 WIB

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melesu, kali ini melemah 0,36% menjadi 15.872 pada penutupan perdagangan hari ini, Jumat (20/110).

Padahal, Bank Indonesia (BI) baru saja menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dari level 5,75% ke level 6%. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai kenaikan suku bunga acuan memberi amunisi ke rupiah atau membantu menjaga nilai tukar rupiah agar tidak terlalu melemah terhadap dolar AS.

Kendati demikian, situasi dari luar negeri masih berpengaruh besar terhadap pelemahan rupiah. Hal ini dapat terlihat dari rupiah yang masih terus tertekan.

“Kondisi eksternal memang sangat berpengaruh ke pergerakan rupiah dolar AS sehingga pelemahan rupiah masih tidak terelakan bila sentimen eksternal menekan rupiah,” kata Ariston pada Katadata.co.id, Jumat (20/10).

Sebagai informasi, kenaikan suku bunga pada Oktober ini merupakan yang pertama setelah kenaikan suku bunga pada Januari lalu.

Melihat sejarah pergerakan rupiah, pada saat BI menaikkan suku bunga Januari lalu, rupiah sempat berada di level 14.800-14.900. Kemudian melemah ke level 15.000 lagi pada Februari.

Pengamat rupiah dan Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan upaya BI menekan pelemahan rupiah dengan menaikkan suku bunga adalah hal yang tepat.

Sebab, Ibrahim menilai, sehebat apapun upaya Bank Indonesia melakukan intervensi untuk menahan pelemahan rupiah, masalah geopolitik akan terus menekan rupiah.

“Ada permasalahan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa yang sampai saat ini bergulir. Lalu ada Amerika Serikat yang kemungkinan akan menaikkan suku bunga lagi,” kata Ibrahim kepada Katadata.co.id, Jumat (20/10).

Selain itu, negara-negara dengan empat musim seperti AS dan Eropa memasuki musim dingin ekstrim. Maka dari itu dibutuhkan sumber energi yang cukup besar, sedangkan Rusia hanya mengekspor 50%. “ Dampak ini yang membuat inflasi cukup tinggi sehingga inflasi naik,” kata Ibrahim.

Ibrahim pun menilai pelemahan rupiah hingga ke level 16.000 sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat. Salah satu faktornya adalah mendekatnya tahun politik. Jika terjadi, akibatnya konsumsi akan menurun, pertumbuhan ekonomi akan turun ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi akan melambat di kuartal keempat 2023.

“Disisi lain banyak spekulan yang ingin rupiah ke 16.000 karena para pejabat akan menjual dolar untuk kampanye,” kata Ibrahim.

Reporter: Zahwa Madjid