Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga di Level 6%

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Selasa (25/7/2023). Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 24-25 Juli 2023 memutuskan untuk kembali menahan suku bunga acuan atau BI-7 Days Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75 persen.
23/11/2023, 14.54 WIB

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada level 6%. Kebijakan ini ditetapkan secara konsisten dalam rangka stabilisasi nilai Rupah dan sebagai langkah preventif hadapi dampak inflasi barang impor.

"Rapat Dewan Gubernur BI pada 22-23 Oktober 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI seven days reverse repo rate (BI7DRR) sebesar 6%, suku bunga deposit facility sebesar 5,25% dan suku bunga lending facility sebesar 6,75%," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (23/11).

Selain untuk memperkuat stabilitas rupiah, kata Perry, kenaikan suku bunga juga dilakukan sebagai langkah pencegahan di masa mendatang untuk memitigasi dampak terjadinya inflasi barang impor.

"Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3% plus minus 1% pada 2023 dan 2,5% plus minus 1% pada 2024," kata Perry.

Kebijakan ini juga diperkuat dengan implementasi insentif likuiditas dan menurunkan rasio penyanggah likuiditas makroprudensial. Dengan begitu, kredit pembiayaan dapat tetap berlanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelumnya, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dari level 5,75% ke level 6% pada Oktober 2023. Kebijakan ini ditetapkan untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global.

Keputusan tersebut ternyata sesuai dengan ramalan para ekonom. Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro misalnya, memperkirakan suku bunga BI akan tetap berada di level 6,00% seiring kurs Rupiah dan inflasi yang masih terkendali.

Bahkan ia memperkirakan tingkat inflasi pada tahun ini hanya akan mencapai 2,8%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi secara tahunan pada Oktober 2023 tercatat 2,56%.

Komoditas yang memiliki andil besar terhadap inflasi atau kenaikan harga tahunan pada Oktober 2023 adalah beras, bawang putih, daging ayam ras, gula pasir, jeruk, kentang, rokok kretek, rokok putih, dan rokok kretek filter.

Senada, Kepala Ekonom Bank Central Asia,David Sumual juga memprediksi bahwa BI akan mempertahankan BI-7DRRR di level 6.00%. Ia menilai level suku bunga 6.00% akan bertahan hingga akhir tahun. Namun, potensi kenaikan tetap ada.

“Bisa saja naik lagi terutama tergantung perkembangan eksternal, terutama fed rate,” ujar David.

Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede juga memperkirakan bank sentral akan mempertahankan suku bunga di level 6.00%. Perkiraan ini didukung oleh perkembangan terbaru dari sisi eksternal, terutama data ekonomi AS yang menunjukkan bahwa inflasi akan terus menurun dan pasar tenaga kerja terus melonggar.

Kondisi tersebut menyebabkan pasar keuangan global cenderung stabil dan meningkatkan sentimen risk on di kalangan investor. Sebab, The Fed saat ini dipandang tidak terlalu hawkish oleh pasar, sehingga memicu arus masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Akibatnya, kami melihat Rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS dalam beberapa minggu terakhir ini, yang akan mengurangi risiko imported inflation,” ujar Joshua kepada Katadata, Rabu (22/11).

Ia melihat, imbal hasil SBN juga menunjukkan tren penurunan. Meski demikian, ketidakpastian masih akan berlanjut lantaran The Fed belum memberikan sinyal mengenai ruang penurunan suku bunga. Dari sisi domestik, inflasi dilaporkan sebesar 2,56% secara tahunan pada Oktober-23 atau berada dalam kisaran target 2023.

Tak hanya itu, menurut dia, risiko dampak El Nino terhadap inflasi bahan makanan masih menjadi isu utama yang perlu diantisipasi dengan baik ke depannya. Tercatat neraca perdagangan pada Oktober 2023 juga masih mencatatkan surplus.

"Hal ini mengindikasikan bahwa risiko neraca transaksi berjalan yang berbalik menjadi defisit di tahun ini tidak terlalu besar dan tidak memberikan risiko besar terhadap stabilitas Rupiah," tutupnya.

Reporter: Zahwa Madjid