Bos OJK Jawab Kekhawatiran Jokowi Soal Likuiditas Bank yang Kering

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Rupiah ditutup melemah 28 poin atau 0,18 persen ke posisi Rp15.601 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.573 per dolar AS akibat dipicu kekhawatiran Bank Indonesia (BI) akan kembali menaikkan suku bunga acuan.
1/12/2023, 16.37 WIB

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan kondisi likuiditas perbankan saat ini masih memiliki ruang yang memadai untuk menyalurkan kredit.

“Kondisi loan to deposit (LDR) berada di kisaran 83%. Itu menunjukkan bahwa ruang dari peningkatan alokasi kredit pinjaman masih besar,” kata Mahendra saat ditemui usai kegiatan Risk & Governance Summit 2023 di Jakarta, sebagaimana dikutip Antara, Jumat (1/12).

Dia menambahkan, pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang melambat dibanding tahun lalu terbilang wajar, mengingat kinerja industri perbankan baru mengalami rebound usai diterpa krisis pandemi COVID-19.

Oleh sebab itu, hal yang perlu menjadi perhatian adalah terjaganya tingkat pertumbuhan kredit dan DPK di level yang hampir sama dengan prapandemi. Menurutnya, itu adalah kondisi yang wajar terutama setelah menghadapi krisis yang besar.

Di sisi lain, Mahendra menyoroti perlunya menjaga potensi pertumbuhan kredit di sektor riil. Sebab, kebutuhan kredit, peningkatan investasi, modal kerja, hingga kebutuhan lainnya sangat bergantung dengan kondisi pertumbuhan di sektor riil.

“Selama itu kita jaga, dan kami pahami pemerintah betul-betul ingin menjaga hal tersebut pada sisa tahun ini dan tahun depan, maka momentum itu bisa tetap baik dan tentu memberikan peluang respons kondisi perbankan yang juga sama baiknya,” ujarnya.

Pernyataannya tersebut menyambung arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai kredit. Dalam kegiatan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023 di Jakarta, Rabu (29/11) malam, Jokowi mengajak seluruh perbankan untuk berhati-hati (prudent) dalam menjalankan bisnisnya.

Hal itu disebabkan banyak pelaku usaha yang menyebut peredaran uang di Indonesia semakin kering.

Jokowi menilai perlambatan pertumbuhan kredit karena banyak perbankan membeli instrumen surat utang dari Kementerian Keuangan dan BI seperti Surat Berharga Negara (SBN), Surat Berharga Dalam Valuta Asing (SVBI) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

"Jangan semuanya ramai-ramai beli SBN, SVBI dan SRBI. Meskipun boleh-boleh saja, tapi [melalui kredit] sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun lalu,” kata Jokowi.

Peredaran Uang Melambat

Sebagai informasi, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti lus (M2) memang tumbuh melambat. Bank Indonesia (BI) mencatat uang beredar di Indonesia mencapai Rp 8.505,4 triliun, atau hanya tumbuh 3,4% yoy pada Oktober 2023.

Dari situ penyaluran kredit mencapai Rp 6.863 triliun, atau naik 8,7% yoy pada Oktober 2023. Sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan hanya tumbuh 3,9% yoy menjadi Rp 7.982,3 triliun.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, beberapa sebab peredaran uang  tumbuh melambat. Pertama, risiko ekonomi yang tinggi di tengah ketidakpastian global juga membuat perbankan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

"Sehingga [bank] akan lebih konservatif dalam menyalurkan dana guna memastikan kredit yang disalurkan berkualitas sehingga neraca transaksi berjalan kembali mencatatkan defisit," ucapnya.

Menurut Josua, kondisi ini menyebabkan adanya penurunan dana yang bersumber dari luar pada sistem keuangan sehingga berdampak pada likuiditas sistem perbankan.

Faktor kedua, agresifnya kenaikan suku bunga acuan global dibandingkan dengan suku bunga acuan BI membuat sebagian pelaku usaha menempatkan dananya pada instrumen deposito di luar negeri sehingga memicu arus outflow.

Untuk menahan hal tersebut, kata Josua, pemerintah dan BI telah mengeluarkan berbagai instrumen untuk mencegah aliran dana keluar seperti kebijakan aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Saya Alam (SDA), Term Deposit Valuta Asing (TD valas), SRBI, SVBI, SUVBI.

"Jadi overall, kondisi tersebut tentunya akan mengurangi penempatan DPK di perbankan," katanya.

Di sisi lain, meski loan to deposit (LDR) memang ada kenaikan, Josua menyebut rasio loan to deposit ration (LDR) masih aman dan likuiditas sistem perbankan juga cukup ample.

Selain adanya kebijakan makroprudensial yang longgar dari BI, menurutnya, pertumbuhan kredit juga cenderung melambat atau mengalami normalisasi yang disebabkan sejumlah faktor.

"Ekonomi Indonesia cenderung commodity centric sehingga penurunan harga komoditas global akibat risiko perlambatan ekonomi global akan menurunnkan revenue perusahaan sehingga mempengaruhi keputusan untuk belanja capex nya yang berujung pada penurunan permintaan kredit," ujarnya.

Terkait dengan SBN, apakah memicu terjadinya crowding out karena menawarkan return lebih tinggi daripada deposito, Josua memprakirakan tidak demikian. Sebab, penempatan dana SBN kurang dari 20% pada sistem keuangan Indonesia.

"Jadi tidak bisa dikatakan berisiko mengganggu likuditas perbankan dalam melakukan peran intermediasi," ujarnya.

Josua justru memberikan masukan kepada pemerintah agar penghimpunan dana melalui penerbitan SBN harus juga diikuti dengan peningkatan belanja agar memacu roda perekonomian.

"Saat ini, penerbitan SBN yang banyak, tidak diikuti realisasi belanja pemerintah yang tinggi, bahkan posisi Oktober 2023 masih dapat dikatakan rendah. Hal ini juga terlihat dari penempatan dana pemerintah di rekening BI yang masih cukup tinggi," ucapnya.

Jika pemerintah dapat mengakselerasi belanjanya, maka dampak dari penghimpunan dana SBN tidak akan bermasalah. Sebab, kata Josua, perputaran sektor riil dapat kembali masuk ke sistem perbankan dan juga bisa meningkatkan likuditas bank.

"Jika likuditas perbankan semakin ample maka cost funding untuk bisnis dapat lebih murah dan juga akan berdampak baik pada pertumbuhan ekonomi ke depannya," katanya.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari, Antara