Pemerintah Akan Atur Pajak Film, Harga Tiket Bioskop Bisa Lebih Murah

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.
Pengunjung melihat koleksi poster film tempo dulu yang dipamerkan pada Pameran Budaya Bioskop di Telanaipura, Jambi, Selasa (3/1/2023). Pameran yang digelar mulai 3-8 Januari 2023 dengan menampilkan puluhan koleksi film dan poster antara tahun 1960-an sampai 1990 milik keluarga Lie yang merupakan pengusaha bioskop pertama di daerah itu bertujuan mengedukasi warga dan mengenalkan sejarah bioskop kepada pengunjung.
7/12/2023, 06.17 WIB

Pemerintah akan mengatur pajak film dengan menyeragamkan pajak tiket bioskop di seluruh daerah. Kebijakan ini akan membuat harga tiket bioskop menjadi lebih murah, dan makin banyak masyarakat yang bisa menikmati bioskop di daerah serta pemasukan daerah juga berpotensi meningkat. 

Menanggapi hal itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut, pajak film merupakan pajak daerah yang diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 tahun 2009.

Dalam aturan tersebut, tarif pajak hiburan bioskop ditetapkan paling tinggi 35% dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda).

"Jadi, implementasi pajak film sudah lama sekali. Selama ini, daerah punya kewenangan sendiri dalam menentukan tarif pajak film," kata Fajry kepada Katadata.co.id, Rabu (6/12).

Bahkan wacana pajak perfilman sebelumnya sudah pernah dibahas beberapa tahun lalu dalam ranah pajak daerah. Kala itu, pajak film di beberapa daerah dianggap tidak mendorong industri bioskop.

Di beberapa daerah, tarif pajak film dinilai terlalu tinggi sehingga investor enggan masuk ke bisnis bioskop meski ada batas atasnya. Maka itu, masih ada beberapa daerah yang tidak ada bioskopnya, karena tarif pajaknya terlalu tinggi. 

Dengan harmonisasi ini, bagi Fajry, menjadi kabar baik bagi masyarakat dan investor. Investor bisa buka bioskop dan makin banyak masyarakat menikmati bioskop di daerahnya sendiri tanpa perlu ke daerah lain.

Namun yang menjadi tantangan adalah dasar hukum harmonisasi. Salah satunya adalah implementasi UU HKPD Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

"Apakah [dengan] UU HKPD? dan [bagaimana] implementasi di lapangan nanti. Seringnya, pemerintah di tingkat daerah mengacuhkan aturan dari pusat," kata Fajry.

Menurut Fajry, untuk daerah tertentu yang selama ini tidak ada bioskop, tentu penerimaan pajak mereka akan naik. Karena selama ini mereka mengatur pajak sendiri.

"Tapi ini dampak buruknya ke masyarakat dan investor. Makanya [pajak] perlu disamaratakan," ujarnya.

Pendanaan Film

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) ad interim Erick Thohir menyampaikan kebijakan baru yang akan dipersiapkan pemerintah terkait standarisasi pajak film di seluruh daerah.

Hal tersebut diungkapkan Erick dalam akun Instagram pribadinya @Erickthohir. Kebijakan baru ini mempertimbangkan 64% pangsa pasar film nasional yang masih mendominasi industri perfilman nasional.

“Kalau kita tidak jaga ini, akan terjadi swing back seperti pada tahun 2014-2015 yang didominasi oleh film Hollywood,” kata Erick.

Dengan pengaturan pajak tersebut, produksi film dalam negeri bisa berkembang dan pemasukan yang diperoleh juga bertambah. Jika pajak film sudah merata, akan dimasukkan ke dalam pendanaan film nasional.

“Kebetulan Himbara nya sudah ada. Kemungkinan harus ada [peraturan presiden] Perpres yang bisa memayungi ekosistemnya kita lakukan apakah dari perpajakan perizinan lalu ada pendanaan,” ujar Erick.

Gaet Investor Potensial

Tiga masalah utama industri film yaitu terkait pembiayaan, pemasaran dan perizinan. Dalam hal ini, peran serta Perusahaan Film Negara (PFN) dibutuhkan untuk memudahkan pembuat film mencari investor potensial.

"Sementara untuk perizinan, saya bersama kementerian dan lembaga lain akan berkoordinasi untuk memangkas regulasi agar produksi film bisa lebih efisien," ujar Erick.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Pajak (DJP) menyebut, pajak film merupakan salah satu objek pajak hiburan dan kesenian yang dikelola oleh Pemda.

"Hal ini berdasarkan ketentuan UU HKPD," terang Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti.

Kebijakan ini mengatur pajak jasa kesenian dan hiburan seperti penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukkan dan permainan. Hal ini termuat dalam pasal 8 ayat (49).

Bisnis bioskop dikenakan objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang merupakan pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir, atau konsumen barang dan jasa.

Pada pasal 58 ayat (1) disebutkan, bahwa tarif PBJT paling tinggi sebesar 10% yang ditetapkan dengan melalui Perda. Pajak tersebut dihitung saat pembayaran atau konsumsi barang dan jasa dilakukan.

Reporter: Zahwa Madjid, Ferrika Lukmana Sari