Utang pemerintah pada era Presiden Joko Widodo berpotensi meningkat menjadi Rp 6.291 triliun pada 2024 atau mencapai 38,98% terhadap produk domestik bruto (PDB). Nilai ini meningkat pesat dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono menjabat pada periode 2004-2014.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky memaparkan dalam akun media sosial X nya, posisi utang pemerintah pada 2014 lalu sebesar Rp 2.609 triliun, atau sekitar 24,68% terhadap rasio PDB.
Sementara pada era Jokowi, posisi utang diperkirakan akan melonjak mencapai Rp 8.900 triliun atau bertambah Rp 6.291 triliun dan rasio utang bertambah mejadi 14,30% pada 2024.
“Diperkirakan, rasio posisi utang pemerintah atas PDB pada 2023, adalah sebesar 310,93% dan 2024, sebesar 314,03%. Rasionya meningkat 145,76% pada era Jokowi. Era sebelumnya menurun,” ujar Awalil dalam akun media sosial X dikutip Senin (11/12).
Dengan begitu, Awalil memperkirakan pembayaran pokok utang pemerintah akan mencapai Rp 625 triliun dan bunga Rp 497 triliun. Jadi total utang yang harus dibayarkan pemerintah senilai Rp 1.122 triliun pada 2024.
“Target pendapatan APBN 2024 sebesar Rp 2.802 triliun. Rasionya 40%. Rasio beban utang atas pendapatan menurun pada era SBY, namun meningkat pesat pada era Jokowi,” kata Awalil.
Diberitakan sebelumnya, jumlah utang pemerintah pada periode ini tercatat hampir menyentuh Rp 8.000 triliun tepatnya Rp 7.950,52 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,68%.
Berdasarkan buku APBN KiTa edisi November 2023, nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir tahun lalu dan masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Meski demikian, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy menyebut, nilai utang yang hampir mencapai Rp 8000 triliun saat ini, dinilai relatif masih aman, terutama jika berbicara konteks rasio utang terhadap PDB.
Namun rasio utang tersebut masih di level atas atau belum kembali seperti saat sebelum pandemi Covid-19. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam menurunkan utang tersebut.
"Setidaknya [utang] saat sebelum terjadinya pandemi dan bahkan untuk mempertahankan kesehatan atau keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang, rasio utang tentu perlu ditekan lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya pandemi,” ujar Yusuf.