Pemerintah akan menambah utang sebesar Rp 600 triliun pada tahun depan. Penambahan ini untuk menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2024.
"Tahun depan dengan defisit anggaran sekitar 2,9%, utang kita bertambah Rp 600 triliun," kata Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Deni Ridwan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (18/12).
Angka defisit itu naik jika dibandingkan tahun ini yang sebesar 2,27%. Deni menyebut, naiknya penarikan utang pada 2024 akan menambah pembiayaan untuk utang pokok dan bunga.
Terkait rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), menurut dia, tahun depan masih aman. Apabila dibandingkan dengan negara lainnya, rasio Indonesia yang sebesar 37% masih lebih kecil. "Malaysia, Filipina, Thailand mencapai 70%," kata Deni. "Di bawah kita hanya Brunei dan Vietnam."
Mengacu pada Nota Keuangan 2024, Presiden Joko Widodo bersiap menambah utang senilai Rp 648,1 triliun. Hal ini tercantum dalam RAPBN 2024. Angka pembiayaan utang itu menurun dibandingkan target tahun ini dalam APBN 2023 yang senilai Rp 696,3 triliun.
Pembiayaan utang sebesar Rp648,1 triliun tersebut untuk menutup defisit anggaran tahun depan yang ditargetkan mencapai Rp 522,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB.
Realisasi Pembiayaan Utang Pemerintah
Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan realisasi pembiayaan utang pemerintah melalui surat penerbitan mencapai Rp 203,6 triliun per Oktober 2023.
Capaian tersebut baru memenuhi 29,2% dari target pembayaran yang ditetapkan dalam APBN 2023 sebesar Rp696,3 triliun. Realisasinya pun turun drastis hingga 59,9% bila dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar Rp 507,3 triliun pada Oktober 2022.
Kendati pembiayaan dari utang Oktober 2023 ambrol, Sri Mulyani memastikan bahwa pengelolaan pembiayaan ini tetap terjaga baik. Pengadaan pembiayaan utang melalui lelang domestik masih sesuai jalur.
Selain itu, Sri Mulyani menyebut, pemerintah telah menerbitkan sukuk global sebesar US$ 2 miliar di tengah kondisi pasar yang cukup volatil.