Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan, uang yang dikirimkan oleh pekerja migran di luar negeri kepada keluarganya yang ada di tanah air berdampak terhadap penurunan tingkat kemiskinan.
Dalam 5 tahun terakhir, remitansi atau proses transfer uang dari negara pekerja migran ke negara asalnya berkontribusi sekitar 0,8%-1,07% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, masyarakat Indonesia yang bekerja di luar negeri, seperti Amerika Serikat mampu mendapatkan gaji 500% lebih tinggi jika dibandingkan tidak bermigrasi.
“Migrasi tentunya akan membawa implikasi baik ke ekonomi negara yang dituju maupun negara asal. Selain migrasi untuk kebutuhan hidupnya sendiri, tapi dapat memberikan dampak lanjutan kepada keluarga yang ditinggalkan karena gajinya ditransferkan. Jadi keluarganya bisa keluar dari kemiskinan,” ujar Amalia dalam pencanangan ‘Satu Data Migrasi Internasional untuk Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Rabu (20/12).
Penurunan Angka Kemiskinan
Amalia pun mengatakan, dalam laporan Bank Dunia juga menunjukkan bahwa uang yang dikirim oleh pekerja migran ke keluarganya berdampak terhadap penurunan kemiskinan di negara di mana keluarga tersebut tinggal.
Sebagai contoh, Amalia menjelaskan remitansi dari warga negara Nepal yang bekerja di negara-negara Arab dan Malaysia. Remitansi ini dapat memberikan dampak pengurangan kemiskinan hingga 40% selama 10 tahun antara periode 2001 sampai 2011 di Nepal.
Sementara di Indonesia, rumah tangga yang menerima remitansi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk jatuh kepada kelompok miskin dan lebih tahan terhadap gejolak atau guncangan ekonomi.
“Keluarga yang menerima remitansi dari anggota keluarga yang bekerja di luar negeri juga mampu melakukan konsumsi lebih tinggi dan memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan keluarga lain, kelompok yang sama levelnya tapi keluarganya tidak ada yang bekerja atau bermigrasi bekerja di luar negeri,” ujar Amalia.
Dia bilang, migran internasional memiliki banyak manfaat, namun terdapat juga sejumlah tantangan dan resiko nonprosedural. Seperti perdagangan orang dan diskrminasi. Hal ini menandakan bahwa masih adanya gap dalam tata kelola migrasi internasional.
"Penting untuk terus mengupayakan pemberian hak dan perlindungan yang maksimal bagi para pekerja migran Indonesia khususnya dan seluruh migran internasional pada umumnya,” ujar Amalia.