Penyumbang Migran Terbanyak, RI Masih Dilanda Isu Perdagangan Manusia

Pexels
Ilustrasi: Hari Migran Internasional
20/12/2023, 17.27 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia menjadi negara terbesar ke-2 penyumbang migran terbanyak di Asia tenggara setelah Filipina pada 2020. Sebanyak 44% dari 4,6 juta migran internasional adalah perempuan.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, setiap tahunnya 43 dari 100 ribu penduduk Indonesia melakukan migrasi ke luar negeri. Sementara 72 dari 1 juta penduduk Indonesia merupakan warga negara asing

“Jadi kalau kita kumpulkan ada 1 juta penduduk kira-kira 72 nya adalah WNA. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah cukup terbuka dengan lalu lintas manusia keluar dan masuk,” ujar Amalia dalam pencanangan ‘Satu Data Migrasi Internasional untuk Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Rabu (20/12).

Jika dibandingkan tahun 1960, migrasi dari negara berpendapatan rendah meningkat hampir dua kali lipat pada 2020. Sedangkan jumlah orang yang datang ke negara berpendapatan tinggi bahkan meningkat hampir tiga kali lipat.

Sebagian besar migran internasional berasal dari negara berpendapatan menengah. Dengan negara tujuan utamanya adalah bagian dari Dewan Kerja Sama untuk Negara Arab di Kawasan Teluk (GCC), di mana 88% migran memilih ke Arab Saudi.

Kasus Perdagangan Manusia

Di sisi lain, pengaduan kasus yang dialami pekerja migran Indonesia meningkat sampai 16,8% pada 2023. Pada tahun 2022, pengaduan kasus yang melanda para migran mencapai 1.987.

“Kasus perdagangan orang dan penipuan daring menempati urutan teratas. Persoalan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan tata kelola migrasi,” ujar Amalia.

Selain itu, Amalia juga mengungkapkan, bahwa migran internasional dari Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai isu lain. Seperti upah rendah dan kondisi kerja yang buruk.

Pada tahun 2021, migran Indonesia di Malaysia, terutama di sektor konstruksi, rata-rata hanya mendapatkan upah bulanan sekitar RM1 200 hingga RM1 500, atau jauh di bawah standar upah minimum Malaysia yang lebih tinggi.

“Survei oleh International Labor Organization (ILO) menunjukkan bahwa beberapa migran Indonesia di sektor konstruksi Malaysia bekerja hingga 12 jam sehari dengan hanya satu hari libur seminggu,” ujar Amalia.

Selain itu, migran juga dihadapkan dengan permasalahan izin dan legalitas. Pada tahun 2020, hanya sekitar 21% dari total pekerja migran di Singapura memiliki perizinan kerja yang sah. Migran yang bekerja tanpa izin resmi berisiko memiliki status imigrasi yang tidak jelas.

Isu lainnya yang dialami migran adalah beberapa migran Indonesia di negara tujuan menghadapi kendala dalam mengakses sistem hukum karena bahasa yang berbeda dan kompleksitas birokrasi.

Reporter: Zahwa Madjid