Kenaikan Harga Cabai hingga Beras Sebabkan Fenomena Makan Tabungan

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/rwa.
Pedagang menimbang cabai rawit untuk pembeli di Pasar Kamis Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Kamis (30/11/2023). Harga cabai rawit jenis samia sejak tiga hari terakhir naik dari Rp80 ribu menjadi Rp110 ribu per kilogram yang disebabkan kurangnya hasil panen petani sedangkan permintaan dari wilayah Sulawesi Utara tinggi.
28/12/2023, 04.16 WIB

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, bahwa meningkatnya harga kebutuhan pokok di pasaran, tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah tabungan masyarakat yang menyebabkan terjadinya fenomena “makan tabungan”.

Fenomena “makan tabungan” yang saat ini ramai diperbincangkan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat berbelanja melebihi pendapatan yang diterimanya, sehingga terpaksa menggunakan tabungannya.

“Ada korelasi antara kenaikan harga beras, cabai, dan gula terhadap jumlah tabungan yang pertumbuhannya rendah. Sementara dari sisi pendapatan, masyarakat terhambat oleh sulitnya mencari pekerjaan yang layak. Jadi kenaikan kebutuhan pokok dengan kenaikan pendapatan bulanan kelas menengah tidak berbanding lurus,” kata Bhima dikutip dari Antara, Kamis (28/12).

Selain itu, Bhima menilai Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 11% dan wacana kenaikannya 12% perlu dikalibrasi ulang agar tak turut memberatkan daya beli masyarakat.

Dari segi insentif pajak juga perlu difokuskan kepada usaha padat karya dibandingkan padat modal. Selain itu, formulasi Upah Minimum Provinsi (UMP) juga perlu dirombak ulang.

"Karena pertumbuhan UMP yang ada saat ini, tidak mampu memperbaiki pendapatan masyarakat. Belum terlambat untuk mencegah pelemahan konsumsi rumah tangga,” ujarnya.

Cicilan Utang Naik Lebih Tinggi dari Pendapatan

Berdasarkan survei konsumen oleh Bank Indonesia (BI), rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) mengalami penurunan dari 15,7% pada Oktober 2023 menjadi 15,4% pada November 2023.

Kemudian, proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) juga turut mengalami penurunan dari 75,6% pada Oktober 2023 menjadi 75,3% pada November 2023.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan proporsi pembayaran cicilan atau utang (debt to income ratio) yang mengalami peningkatan menjadi 9,3% pada November 2023, dibandingkan bulan Oktober 2023 sebesar 8,8%.

Dari survei tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal meyampaikan, bahwa survei tersebut menunjukkan bahwa proporsi tabungan masyarakat semakin kecil. Sementara konsumsi dan cicilan justru semakin besar.

Dengan fenomena itu, Faisal menilai akhir-akhir ini, memang ada kecenderungan masyarakat untuk menggunakan tabungannya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kalau saya melihat dari beberapa indikator, memang ada indikasi yang cukup kuat bahwa kalangan menengah ini sudah sedemikian rupa spending-nya sehingga harus menggunakan tabungan mereka, baik untuk konsumsi maupun bayar cicilan,” kata Faisal.

Faisal menjelaskan, faktor utama yang mempengaruhi fenomena "makan tabungan", yaitu meningkatnya biaya hidup, termasuk harga barang yang kian melonjak tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat kelas menengah.

Tekanan yang dihadapi masyarakat kelas menengah juga tercermin dari indikator penduduk berdasarkan golongan pendapatan. Jika mengacu pada indikator pembagian penduduk menjadi 5 kuintil, saat ini tingkat pertumbuhan pengeluaran paling rendah ada di kuintil 4 yang justru merupakan masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah, disusul dengan kuintil 3, 2, dan 1.

“Paling rendah itu kuintil 4 pertumbuhan spending-nya, disusul kuintil 3, 2, 1. Kuintil 1 itu adalah yang paling rendah pendapatannya. Jadi golongan menengah ini pertumbuhan spending-nya lebih rendah daripada golongan bawah. Tapi yang paling tinggi spending-nya tentu saja adalah yang kuintil 5, itu yang paling kaya,” kata Faisal.

Hal itu juga diikuti dengan melambatnya tingkat tabungan di kalangan masyarakat kelas menengah.

“Kalau kelas bawah kan umumnya dari dulu susah nabung, tapi kalau kalangan menengah semestinya sebagian income, mereka masih bisa menabung. Kalau semakin kecil tabungannya berarti kalangan menengah semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," ujarnya.

Tabungan Tumbuh Melambat

Tercatat Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh 3,04% yoy pada November 2023, atau melambat dibandingkan periode yang sama pada 2022 sebesar 6,61%. Kendati demikian, Deputi Gubernur BI Juda Agung menilai pertumbuhan DPK yang masih di rentang 3%, sehingga tak perlu dikhawatirkan.

Senada dengan Juda, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyebut, pertumbuhan simpanan masyarakat tersebut bukan menunjukkan pelemahan. 

“Tapi pertumbuhannya tahun ini, sampai Desember lebih kecil daripada periode yang sama tahun lalu, bukannya melemah. Kalau melemah itu negatif, ini tidak negatif jadi tumbuh. Tapi lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” kata Mahendra.

Dengan perlambatan tersebut, Bhima memproyeksikan, bahwa pada 2024 mendatang, tingkat tabungan masyarakat akan tetap tumbuh meskipun tetap mengalami perlambatan. Salah satunya dibantu dengan adanya gelaran Pemilu 2024. 

"Proyeksinya 2024 simpanan masyarakat akan tumbuh lebih lambat. Pada awal tahun mungkin terbantu sedikit oleh money politics jelang pemilu, atau serangan fajar tapi sifatnya temporer," kata Bhima.

Reporter: Antara