Menakar Arah Kebijakan Pajak Anies, Ganjar dan Prabowo, Siapa Terbaik?

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Capres nomor urut satu Anies Baswedan (kanan), Capres nomor urut dua Prabowo Subianto (tengah) dan Capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo (kiri) berpegangan tangan usai beradu gagasan dalam debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Debat perdana tersebut mengangkat topik pemerintahan, hukum HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peninngkatan layanan publik dan kerukunan warga.
29/12/2023, 08.08 WIB

Tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden menawarakan beragam program untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Berbagai program itu akan diimplementasikan jika mereka memenangi Pilpres 2024.

Secara umum, mereka berkeinginan untuk memperkuat reformasi pajak baik dari sisi administrasi maupun kebijakan. Dengan strategi tersebut, diharapkan penerimaan pajak bisa naik dan menopang pembangunan nasional.

Dalam APBN 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mematok penerimaan pajak 82,42% dari target pendapatan negara sebesar Rp 2.802,3 triliun. Dengan besarnya kontribusi penerimaan pajak, maka program-program pembangunan akan lebih mudah dijalankan pemerintah.

Namun tingginya penerimaan pajak tidak sebanding dengan rasio pajak (tax ratio) yang masih relatif rendah. Dalam lima tahun terakhir, pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya mampu mencapai rasio pajak 9%-10%, bahkan hanya di kisaran 8% pada 2020 saat pandemi Covid-19.

Capaian rasio pajak di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru lebih baik. Rasio pajak tertinggi selama satu dekade kepemimpinan SBY mencapai 14,0% terhadap PDB pada 2012. Lalu menurun pada 2013 dan 2014 masing-masing sebesar 13,6% dan 13,1%.

Walau begitu, rasio pajak Indonesia masih rendah dari yang ditetapkan oleh IMF, yakni minimum sebesar 15%. Rendahnya rasio pajak di Indonesia terjadi karena tingkat pemungutan pajak yang rendah dan banyaknya kasus kebocoran pajak.

Padahal tinggi rendahnya rasio pajak, akan menentukan keberlangsungan pembangunan di suatu negara. Semakin tinggi rasio pajak, ketergantungan terhadap utang juga akan semakin rendah.

Kebijakan Pajak Anies-Cak Imin

Di tengah tantangan pajak tersebut, ketiga pasangan capres-cawapres ini menawarkan berbagai program untuk meningkatkan penerimaan pajak, seperti tercantum dalam dokumen visi-misi mereka.

Dalam dokumen visi-misinya, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar ingin meningkatkan penerimaan negara melalui perluasan basis dan perbaikan kepatuhan pajak untuk meningkatkan rasio pajak dari 10,4% pada 2022 menjadi 13,0%-16,0% pada 2029.

Pasangan ini akan memastikan seluruh insentif pajak, termasuk tax holiday dan tax allowance, dilaksanakan secara terencana dan terkendali untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal dengan risiko fiskal yang minimal.

Mereka juga ingin mengimplementasikan nilai ekonomi karbon melalui penerapan pajak karbon. Di sektor agraria, keduanya akan menyusun kebijakan pajak yang berkeadilan serta tidak membebani masyarakat dalam rangka penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Selain itu, mereka juga menjanjikan masyarakat Sulawesi bisa mendapatkan penerimaan pajak yang dikembalikan ke rakyat dalam bentuk pembangunan dan lingkungan yang terpelihara.

Keduanya bahkan berencana membangun badan penerimaan negara di bawah langsung presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar instansi. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan.

Pangan nomor urut 1 ini juga sempat menyuarakan pajak yang lebih tinggi untuk kelompok orang kaya. Cak Imin dalam debat capres menyinggung ketimpangan kekayaan 100 orang terkaya Indonesia yang melampaui 100 juta penduduk.

Reformasi Pajak Prabowo-Gibran

Tak berbeda, pasangan nomor urut 2 ini juga ingin mendirikan Badan Penerimaan Negara untuk mendongkrak penerimaan pajak. Sementara rasio pajak yang ditargetkan jauh lebih tinggi yaitu 23% terhadap PDB. 

Mereka menjanjikan perubahan besar bagi pajak di Indonesia, seperti memberi keringan pajak bagi klub-klub olahraga. Kemudian menaikan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh 21 jika nanti terpilih.

Janji berikutnya adalah mencegah kebocoran pendapatan negara serta pajak di bidang sumber daya alam dan komoditas bahan mentah. Lalu pembebasan pajak selama dua tahun pertama untuk UMKM yang baru berdiri dan terdaftar secara resmi.

Berbeda dari yang lain, mereka justru ingin memberikan insetif bagi industri buku dengan menghapus PPN untuk semua jenis buku dan menjadikan pajak royalti buku bersifat final. Lanjut, dengan program pengendalian pengenaan pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Hal ini dibarengi dengan rencana pembangunan Single Indentity Number (SIN) dan Sistem Informasi Administrasi dan Data Base Kependudukan. Salah satunya, untuk memudahkan pelacakan aset dan pajak penduduk Indonesia.

Terakhir,  mereka akan melakukan revitalisasi fungsi pengawasan melalui pembangunan inspektorat (independen dan akuntabel) dan pengawasan kebocoran penerimaan pajak yang dikombinasikan sistem transaksi keuangan yang bankable dan pembayaran non-tunai.

Program Pajak Ganjar-Mahfud

Langkah yang cukup berbeda akan dilakukan pasangan capres-cawapres nomor urut 3. Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak mencantumkan strategi kebijakan fiskal yang detail dalam dokumen visi-misi mereka.

Pasangan ini hanya akan melanjutkan program pembangunan nasional. Kemudian menjanjikan insentif perpajakan pada usaha rintisan digital (start up), insentif pajak untuk Papua, serta pengembangan riset dan inovasi.

Sementara dalam kegiatan kampanyenya, Ganjar berencana menyasar sektor ekonomi biru untuk menaikan penerimaan pajak. Sama dengan pasangan lainnya, Ganjar juga ingin penerimaan pajak dilakukan langsung oleh lembaga di bawah presiden.

Target Rasio Pajak Capres

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai, target rasio pajak sebesar 23% mustahil tercapai dalam lima tahun kepemimpinan. Target rasio pajak pasangan lain justru dinilai lebih realistis dan mampu dicapai.

Pasangan Anies-Cak Imin misalnya, menargetkan rasio pajak 13%-16% pada 2024-2029 jika terpilih. Ganjar Pranowo-Mahfud juga menargetkan rasio pajak yang tak jauh berbeda sebesar 14% hingga 16%.

“Yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi,” ujar Fajry.

Selain itu, ia menilai pembentukan Badan Penerimaan Negara tak diperlukan karena dapat menjadi masalah baru. Pemerintah hanya perlu melanjutkan reformasi perpajakan yang tengah berlangsung.

Ia mencontohkan langkah pembangunan core tax system yang telah dilakukan DJP saat ini. Kemudian beberapa ketentuan penting dalam Undang Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) juga masih perlu dilanjutkan, seperti anti-tax avoidance.

“Lalu melanjutkan reformasi birokrasi di tubuh DJP, penguatan SDM. Semua itu lebih penting dibanding membentuk BPN,” ujar Fajry.

Kemudian cara lain yang bisa dilakukan pemerintah dengan melanjutkan reformasi birokrasi dan administrasi. Misalnya, dengan melakukan reformasi regulasi dan mengurangi insentif pajak yang tidak tepat sasaran.

Benahi Korupsi Pajak dan Kebocoran Pendapatan

Senada dengan Fajry, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti pendirian BPN hanya akan memperkecil biaya pengumpulan pajak serta efisiensi pajak, tetapi tidak menyelesaikan masalah korupsi dan kebocoran penerimaan.

"Makanya, pendirian BPN tidak serta merta, langsung dapat menaikkan tax ratio," ujar Nailul.

Justru bagi Nailul, masalah utama pajak adalah potensi korupsi di DJP. Saat ini, penerimaan pajak juga masih didominasi oleh wajib pajak yang sudah tersistem.

"Pajak orang pribadi masih sangat rendah. Maka benahi terlebih dahulu korupsi, kebocoran pendapatan ini sebagai langkah utama reformasi perpajakan," katanya.

Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga setuju. Dia mendorong pembenahan data pajak dari program tax amnesty dan juga program pengungkapan sukarela.

"Hal ini bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pengawasan kepada wajib pajak, baik itu dalam bentuk pengawasan pembayaran maupun pengawasan pelaporan," kata Yusuf.

Selain itu, pemerintah bisa ikut dalam pertukaran informasi yang berkaitan dengan pajak atau dikenal dengan AEoI. Tujuannya untuk memeriksa wajib pajak yang ada di luar negeri atau terafiliasi ke luar negeri.

Dia juga tertarik dengan pernyataan Cak Imin mengenai pajak untuk orang kaya jika diimplementasikan dalam program Wealth Tax. Kebijakan ini dinilai bisa menjadi solusi atas masalah penerimaan pajak yang kurang. " Plus redistribusi kekayaan sekaligus, walaupun musuhnya banyak," ujarnya.

Ekonomi RI akan Pengaruhi Penerimaan Pajak 2024

Yusuf menyampaikan, bahwa peningkatan rasio pajak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi secara umum. Meski pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan masih akan berada di angka 5%, namun berpeluang melambat di kisaran 4,9%.

Sehingga, akan cukup menantang untuk kemudian mendorong rasio pajak meningkat lebih tinggi pada tahun depan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berada di angka 5%.

"Peningkatan rasio pajak, saya kira akan terjadi secara tipis atau marginal dibandingkan dengan posisi rasio pajak terhadap PDB di akhir tahun 2023," kata Yusuf.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari, Zahwa Madjid