Utang pemerintah tercatat sudah mencapai Rp 8.041 triliun hingga akhir tahun 2023. Kendati sudah melonjak tinggi, pemerintah menilai angka tersebut masih berada dalam batas aman.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto menekankan agar utang jangan hanya dilihat dari sisi nominal. Namun juga dilihat dari berbagai indikator portofolio utang, termasuk risiko utang.
Indikator lainnya, adalah rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan rasio utang RI terhadap produk PDB berada di level 38,11%, maka masih jauh dari batas rasio utang berdasarkan UU Keuangan Negara yang mengamanatkan tidak boleh lebih dari 60%.
"Per akhir November ada di 38,11%. Turun dari posisi Desember 2022 sebesar 39,7% dan puncaknya saat pandemi pada Desember 2021 yaitu 40,7%," jelas Suminto dalam konferensi pers realisasi APBN 2023 di Jakarta (2/1)
Demikian juga indikator risiko lain mengalami peningkatan. Misalnya dari sisi currency risk, proporsi utang RI dalam bentuk valas juga terus menurun.
Sebelum pandemi Covid-19, outstanding utang pemerintah terhadap mata uang asing atau foreign currency sebesar 37,9% dan mencapai 41% pada 2018. Sementara hingga November 2023, outstanding utang pemerintah terhadap foreign currency hanya 27,5%.
“Sehingga dari sisi currency risk lebih baik. Dari sisi refinancing risk, average time to maturity atau rata-rata tenor dari utang pemerintah juga cukup panjang sekitar 8,1 tahun. Dari sisi market risk yang lain, risiko suku bunga di mayoritas utang pemerintah sekitar 82% juga fix rate sehingga tidak terlalu sensitif terhadap gerakan suku bunga yang ada di market,” ujar Suminto.
Hingga 30 November 2023, posisi utang Indonesia sudah mencapai Rp 8.041 triliun. Sekitar 88,61% merupakan dari Surat Berharga Negara (SBN) atau sekitar Rp 7.124 triliun dan 11,39% adalah pinjaman atau Rp 916,03 triliun.
Terbebani Bunga Utang
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, salah satu konsekuensi dari peningkatan utang pemerintah, yaitu bertambahnya jumlah pokok utang yang harus dibayar di masa depan dan bunga utang yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Ditambah lagi, bunga utang yang ditanggung pemerintah dalam 5 tahun ke belakang. Kemudian akan ada peningkatan proporsi belanja bunga utang yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Peningkatan ini tentu bukan hal yang baik.
“Kalau kita bicara konteks saat ini, peningkatan bunga utang ini terjadi pada era suku bunga yang sedang tinggi sehingga ongkos pembiayaan berpotensi menjadi lebih mahal dan tentu ini akan bermuara terhadap relatif besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah di kemudian hari,” ujar Yusuf.
Selain itu, dengan bertambahnya utang pemerintah maka berpotensi terjadinya crowding out effect antara pemerintah dan swasta untuk memperebutkan dana. Crowding out effect adalah kondisi ketika pemerintah mencari pendanaan belanja sektor publik secara jorjoran. Akibatnya, seluruh uang beredar akan terserap ke kantong pemerintah, dan tak ada lagi sisa uang untuk mendanai proyek-proyek di sektor swasta.