Cukai Rokok Naik, RI Dibayangi Inflasi hingga Peredaran Rokok Ilegal

ANTARA FOTO/Rifqi Raihan Firdaus/rwa.
Pedagang menata rokok yang dijual di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (19/12/2023). Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191 Tahun 2022 akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen mulai Januari 2024.
4/1/2024, 06.11 WIB

Kenaikan cukai rokok telah berimbas pada anjloknya penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2023. Tercatat realisasi pendapatan bea cukai Rp 286,2 triliun, atau hanya 95,4% dari target APBN dalam Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 75 Tahun 2023.

Penurunan penerimaan kepabeanan dan cukai terkoreksi 9,9% dari tahun sebelumnya Rp 312,8 tiliun. Padahal, kinerja kepabean dan cukai pada 2021 dan 2022 masih tumbuh positif dan melampaui target pemerintah. 

Salah satunya dipengaruhi oleh kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang mendorong penurunan produksi rokok, terutama dari produsen golongan 1 yang turun hingga 14%. Golongan 1 merupakan pabrikan yang memproduksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahun.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, ada kemungkinan cukai hasil tembakau akan kembali turun pada tahun 2024, sejalan dengan penurunan produksi rokok tahun ini.

"Namun demikian, pada periode sebelumnya, menjelang masa pemilu produksi rokok memiliki kecenderungan untuk meningkat. Sehingga masih terdapat upside risk untuk penerimaan cukai rokok di tahun ini," kata Josua kepada Katadata.co.id, Kamis (4/1).

Kenaikan Cukai Rokok Sumbang Inflasi RI

Selain penurunan bea cukai, kenaikan cukai rokok akan berdampak pada inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, komponen harga diatur pemerintah mengalami inflasi 0,3% dengan andil inflasi 0,07% akibat kenaikan harga rokok putih, dan rokok kretek filter pada Desember 2023.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti bahkan memperkirakan, dampak kebijakan cukai rokok ini terhadap inflasi, akan bergantung dengan langkah yang akan diambil oleh produsen rokok. 

“Efeknya nanti, apapun, akan tergantung pada seberapa kenaikan harga produk yang diterima oleh konsumen berdasarkan keputusan produsen,” kata Amalia.

Amalia melihat dampaknya pada inflasi akan dirasakan secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya di tahun ini. Sehingga, dampaknya tidak bisa dirasakan secara langsung saat aturan ini terbit.

"Kenaikan cukai rokok itu, termasuk untuk rokok elektrik diduga akan memberi andil inflasi pada bulan-bulan berikutnya, secara bertahap," kata dia.

Konsumen Akan Beralih ke Rokok Murah dan Ilegal

Dengan kenaikan harga rokok tersebut,  Josua berharap jumlah perokok di Indonesia dapat berkurang. Namun konsumen bisa beralih ke rokok yang lebih murah. Misalnya, beralih dari rokok golongan 1 ke golongan 2 yang lebih murah atau ke rokok elektrik.

Selain beralih ke rokok lain, kenaikan cukai yang agresif ini juga berpotensi meningkatkan konsumsi rokok ilegal sehingga tujuan bea cukai untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat maupun mendapatkan tambahan pendapatan pemerintah bisa tidak tercapai.

"Kami menilai jika penurunan produksi rokok dapat mempengaruhi performa produsen rokok di Indonesia," ujar Josua.

Untuk itu, instrumen cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok perlu memperhitungkan nilai optimum dari dampak kenaikan tarif cukai terhadap jumlah konsumsi rokok masyarakat, sehingga kenaikan CHT tidak menimbulkan dampak negatif lainnya.

Tren Produksi Rokok Turun

Sementara itu, tren produksi rokok mengalami fluktuasi yang cenderung menurun selama 10 tahun terakhir. Hingga November 2023, produksi rokok mencapai 285,84 miliar batang yang secara tahunan (yoy) mengalami penurunan 1,38% atau kurang lebih sebanyak empat miliar batang.

Asisten Deputi Pengembangan Industri Deputi V Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator (Kemenko) Ekko Harjanto menyebut dampak dari pengetatan kebijakan pengendalian konsumsi produk tembakau bisa dilihat dari tingkat peredaran rokok ilegal.

"Kita berharap kiranya, agar teman-teman dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dapat menyajikan dan menyampaikan analisis data berupa tren peredaran rokok ilegal yang terjadi selama ini," ujarnya.

Sehingga pengetatan pengaturan di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan berpotensi menimbulkan ancaman lain bagi industri hasil tembakau, yakni peningkatan peredaran rokok ilegal, yang juga harus diwaspadai.

"Dampak negatif yang ditinggalkan dari rokok ilegal bukan hanya dari kerugian cukai dan berkurangnya pendapatan negara, melainkan juga dari sisi sosial dan persaingan usaha yang tidak sehat antar industri," ujarnya.

Dari sisi sosial, rokok ilegal menyebabkan peningkatan jumlah perokok terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Hal itu disebabkan harga rokok yang terjangkau sehingga memudahkan mereka membeli secara bebas.

"Pada akhirnya negara tidak menerima pendapatan negara berupa cukai dan justru hanya mendapatkan jumlah perokok yang jumlahnya meningkat apabila rokok ilegal ini semakin masif," kata dia.

Oleh karenanya, diperlukan pengaturan yang seimbang terkait substansi pengamanan zat adiktif dalam RPP Kesehatan untuk memastikan keberlanjutan sektor industri hasil tembakau dan nilai-nilai tambah positif di sektor lain seperti penyerapan tenaga kerja.

Seperti diketahui, pemerintah telah menyepakati dan menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 10% untuk 2023 dan 2024. Kebijakan ini mulai berlaku per 1 Januari 2024 sehingga membuat harga rokok naik.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMN) No. 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Kebijakan ini mengatur tarif cukai untuk berbagai jenis rokok seperti sigaret, cerutu, rokok daun dan tembakau iris.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari