Sri Mulyani Siapkan Dana Rp 497,3 T untuk Bayar Bunga Utang di 2024

ANTARA FOTO/Rizka Khaerunnisa/Ak
Sejumlah kendaraan melintas dengan latar belakang gedung bertingkat di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (8/1/2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang selama 2023 tercatat sebesar Rp407 triliun atau turun 41,5 persen dibandingkan realisasi tahun 2022.
10/1/2024, 10.31 WIB

Di tengah utang negara yang terus menumpuk, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyiapkan dana khusus untuk melunasi bunga utang pada tahun ini. Pembayaran itu sebagai strategi pemerintah untuk mengendalikan utang negara sekaligus untuk menarik utang baru.

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan Beserta APBN Tahun 2024, pembayaran bunga utang akan bertambah lagi pada tahun ini. Dalam dokumen tersebut, terungkap bahwa pembayaran bunga utang direncanakan sebesar Rp 497,3 triliun, naik 12,7% dari alokasi pembayaran bunga utang 2023 Rp 441,4 triliun.

Jika dirinci, pembayaran bunga utang pemerintah pada tahun 2024 terdiri atas pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 456 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 40,4 triliun.

Sementara dari sisi realisasi, pemerintah telah melunasi bunga utang sebesar Rp 437,4 triliun pada 2023. Jumlah itu turun dari realisasi tahun sebelumnya mencapai angka Rp 386,3 triliun.

Dasar Perhitungan Pembayaran Bunga Utang

Adapun yang menjadi dasar perhitungan besaran pembayaran bunga utang tahun 2024 berdasarkan tiga faktor. Pertama, outstanding utang yang berasal dari akumulasi utang tahun-tahun sebelumnya. Kedua, rencana pembiayaan utang tahun 2023 dan 2024. Ketiga, rencana program pengelolaan portofolio utang.

"Kemudian pembayaran bunga utang juga didasarkan pada beberapa asumsi mulai dari nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat (USD), yen Jepang (JPY), dan euro (EUR)," tulis dokumen itu dikutip, Rabu (10/12).

Selain itu, mempertimbangkan tingkat bunga SBN tenor 10 tahun, referensi suku bunga pinjaman serta asumsi spread, diskon penerbitan SBN, serta perkiraan biaya pengadaan utang baru.

Dalam hal ini, pembayaran bunga utang didominasi oleh bunga utang dalam negeri karena instrumen SBN masih mendominasi portofolio utang pemerintah. Sehingga, pemerintah berencana mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik untuk mendukung upaya kemandirian pembiayaan.

"Melalui kerja sama pembiayaan yang telah dilakukan antara pemerintah dan Bank Indonesia, bunga utang berhasil ditekan agar tidak membebani APBN dan menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah-panjang," terang dokumen tersebut.

Pemerintah Tanggung Bunga Utang Lebih Besar

Hingga 30 November 2023, posisi utang Indonesia sudah mencapai Rp 8.041 triliun dan berpotensi meningkat dengan adanya tambahan utang baru serta beban bunga yang tinggi.

Tercatat rasio utang RI terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,11%.  Komposisi utang terdiri 88,61% SBN atau sekitar Rp 7.124 triliun dan 11,39% dari pinjaman atau setara Rp 916,03 triliun.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, salah satu konsekuensi dari peningkatan utang tersebut, yakni bertambahnya jumlah pokok utang serta bunga utang yang harus dibayar.

“Kalau kita bicara konteks saat ini, peningkatan bunga utang ini terjadi pada era suku bunga yang sedang tinggi sehingga ongkos pembiayaan berpotensi menjadi lebih mahal. Tentu ini akan bermuara terhadap relatif besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah di kemudian hari,” ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, Kamis (28/12). 

Walaupun utang sudah menumpuk, pemerintah masih berencana untuk menambah utang baru sebesar Rp 600 triliun pada 2024. Penambahan ini untuk menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2024.

Direktur Eksekutif Institute For Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, menyarankan agar penambahan utang tersebut sebaiknya tidak dilakukan. Karena beresiko menambah biaya bunga utang dan menekan fiskal.

"Penambahan utang harus berkurang, situasinya belum diperlukan. Angka Rp 600 triliun sudah sekitar 2,5%-3% dari PDB. Ini harus lihat biaya pokok bayar bunga utangnya berapa. Misalnya, kalau utang Rp 600 triliun, bisa bayar biaya pokok utang Rp 400 triliun-500 triliun" ujar Tauhid.

Menurutnya, penambahan utang tidak hanya akan memperlambat target pencapaian pemerintah, tapi juga untuk menekan rasio utang terhadap PDB berada di angka 36%-37%.

Reporter: Zahwa Madjid